Email Subscription box byLatest Hack

03 December 2013

Gadis Pemimpi dan Lelaki Beristri

Kinar boleh punya segalanya. Tapi yang ia inginkan hanya mimpi. Tentang seorang lelaki yang telah beristri. Di lengan mereka, seorang gadis kecil menggantung ceria. 

Lelaki itu dikenalnya di dunia maya, Pramudya namanya. Sang istri? Tidak jelas siapa. Juga anak mereka. Yang jelas, cantik parasnya berdua. Kinar selalu tersenyum setiap mendapat gambaran serupa di tiap malam. Esok paginya, ia menelepon Pramudya.

"Aku memimpikanmu lagi. Dengan seorang wanita cantik dan gadis kecil menarik."

"Oh ya? Wah, terima kasih. Semoga pertanda baik," balas suara di seberang.

"Amin. Kau juga harus mengamininya!" serunya semangat.

" Amin."

Lalu hening. Telepon di tangan masing-masing bergeming. 

"Bagaimana kabar suamimu? Anakmu masih saja nakal?" lanjut suara di seberang.

"Ah, iya. Mereka masih begitu-begitu saja. Saya juga."

Sekali lagi, hening.

"Saya juga."

Bab Patah Hati

Ini sebuah cerita, tentang tiga puluh detik dalam tiga malam. Sebuah cerita tentang cinta, bab patah hati.

1.
Pramudya dan Kinar tertawa bersama. Keras, menggelegar. Sepuluh detik menjelang tengah malam. Telapak tangan mereka terkait, hati saling berbait, mengucapkan lelucon-lelucon indah tentang kenapa bulan begitu terang, dan bintang makin tenggelam. Tidak peduli malam makin mencekam, di gubuk yang melegam, dan pohon bambu menjadi saksi alam. Tak lama mereka berpagutan, lama dalam diam.

2.
Mata Kinar berbinar. Air mata berbulir di sudut matanya. Tidak lagi ada tawa di gubuk pinggir rawa, juga Pramudya. Ia duduk sendiri merenungi nyawa. Apa akan dicabutnya, atau berdua. Alam semesta gantian terbahak, melihat gadis remaja itu tersedak. Lalu bambu, bambu berdecak, "Kenapa kau berikan semua, kau bahkan tak kenal dia."

3.
Sudut jalan itu makin sepi. Hanya ada gubuk dan bambu. Semua geming, semua hening. Semua berpaling dari cinta yang bening.

12 August 2013

Namida

'Pertama kali' selalu jadi cerita tersendiri. Pertama kali masuk sekolah, pertama kali naik kelas, pertama kali mematahkan pensil. Pertama kali jatuh cinta, pertama kali berciuman, pertama kali bercinta.

Ini pertama kalinya aku melihat seorang gadis yang menatap langit yang perlahan mengabu. Lembab mata sayunya hampir tidak berkedip, sembab bibirnya tidak mengatup. Secarik garis turun dari tengah matanya ke dagu kecilnya. Garis hitam keras. 

Ia menengadahkan tangan kanannya, telapaknya meminta langit berhenti di pusarannya. Lalu gerimis turun.

Tanda lampu jalanan manusia hijau sudah berganti manusia merah. Enam belas kali. Dia, masih diam tak memulai basa-basi. Kita berhadapan pertama kali. Aku jatuh cinta lagi. 

Perlahan air menggenang di telapaknya. Dikepalkan tangan itu. Jemari kecilnya kemudian membuka satu per satu. Di tangannya, ada kupu-kupu. Dari air hujan kelabu.

"Apa yang kau lakukan?"

"Menenun."

"Hujan?"

"Ya."

"It's hard to make sense, feels as if I'm sensing you through a lens." - Comforting Sounds (Mew)

19 July 2013

Catatan Kecil, Tentang Perjalanan Empat Tahun

1.
"Saya punya teman, seorang gitaris. Dia handal, hanya sayang tak punya band."

Kira-kira seperti itu chat yang saya kirim lewat IRC kepada user dengan nickname 'co_cari_gitaris'.

Ia merespon dengan antusias, "Pertemukan kami." Sigap, tautan pengguna jejaring sosial yang merujuk pada sebuah nama "Why Frank" kulampirkan dalam chat itu.

Lalu? Begitu saja.

***

Beberapa minggu dengan hari-hari yang biasa saja berlalu. Tak ada yang ajaib dari itu. Hingga sebuah pesan sosial media masuk menyapaku, "Kita perform tanggal xx di xx. Datang, ya."

Hanya selang berapa hari sejak itu, aku sudah berada di kerumunan orang yang menutupi jalan. Beberapa pemuja musik, beberapa pemuja eksistensi. Acara launching sebuah butik anak muda yang menjual nama besar sebuah band baru. Mereka sepanggung dengannya. Mungkin dari situ, nama besar tertular kepada mereka. Dari situ, aku benar-benar melihat mereka.

2.
Aku tak ingat sejak kapan didapuk menjadi 'pengatur' mereka. Sebuah wacana kemudian keluar saat kumpul bersama. "Kamu saja yang jadi manager kita, ya?" Aku tidak pernah mengiyakan, tidak juga menolaknya. Aku dipercaya. Itu bukan sesuatu yang bisa kau tolak, bahkan dengan alasan kuat. Yang tak bisa kau terima karena itu sudah ada begitu saja di pundak.

***

"Banyak rencana kita yang tak terwujud tahun ini. Tapi, lebih banyak yang tak kita rencanakan malah terwujud tahun ini," kataku mantap sembari menjunjung tinggi majalah ternama tanah air yang gemar mengulik band-band khususnya band indie. Band yang masih merayap seperti mereka. Disana, foto mereka terpajang dengan gagahnya.

***

"Memang tidak mudah menyatukan empat pikiran menjadi satu, tapi cukup satu alasan yang menyatukan kita. Musik," kali ini kalimat itu lebih teratur keluar di sela-sela interview ringan harian lokal.

***

Aku, hanya punya kata-kata yang besar. Tidak hati yang besar.

3.
Kemudian aku seperti melupakan mereka. Terbius asmara yang menenggelamkan mereka dalam mataku kemudian. Aku hanya mampu melihat mereka bangun dan jadi lebih kuat, tanpa hadir di dalamnya.

***

Aku, mengkhianati amanah mereka.

4.
Matahari sejenak lagi terbit di ufuk timur. Terbit tidak juga keluar membalas pesan. Setelah sujud kupersembahkan, kulangkahkan kakiku pulang. Aku tidak pantas disini lagi, pikirku.

5.
Tiap orang akhirnya memiliki masalah tersendiri. Asmara khususnya. Lihat, betapa cinta membutakan mata. Tapi bukan Standing Forever namanya, jika tak bisa berdiri selamanya.

***

Susah dan senang sudah dilampaui bersama. Dari panggung mini, hingga bergengsi. Dari memburu mimpi sampai menyediakan mimpi. Beberapa kemudian menjadi pemimpi melihat kami berdiri hingga kini.

Aku pernah menangis dalam hati jika melihat mereka diatas panggung hingga kini. Sebagian haru sebagian malu. Aku, tidak tumbuh bersama mereka. Tapi lihat, mereka selalu disana. Mengisi kegawangan panggung dengan musik lantang. Lalu turun dengan kebanggaan. Aku menangis sekali lagi. Kali ini haru.

***

Jakarta, 6 Desember 2012.

Tanah ibukota kuinjak pertama kali. Membawa misi dan mimpi. Di sekitarku, pemuda-pemuda yang menitipkan mimpinya tersenyum lebar. Ini kali kedua mereka kesini, hari ini aku sempat mendampingi.

Susah senang sama-sama, kata orang. Walaupun banyak susah di awalnya, puncaknya adalah hari terakhir. Sebuah panggung berlatarkan gedung menjulang dan awan mengambang di langit cerah terpampang. "Here's our day!" bisikku lantang di ruang ganti.

Kemudian mereka terbang berjuang, aku hanya bisa memandang. Kemudian menangis dalam hati, kali ini mengandung kebanggaan.

6.
Aku mengetik paragraf terakhir ini setelah meninggalkan mereka di warung kopi berselimutkan hujan pukul satu malam. Setelah bersama mencuri waktu memikirkan masa depan. Masa depan sebuah mimpi yang tergabung dalam sebuah band yang berdiri empat tahun lalu. Sebuah band yang dinamakan . . .




"I remember. Never forget. Forever. Always." - You Are My Friend.

15 July 2013

Pulau Gaiman

Berlama-lama di sini hanya menyenangkan hati Alma, tapi tidak hatiku. Maksudku, aku senang berada di kota ini, berteman dengannya. Aku senang memberi tumpangan skuter sewaan ini padanya, lalu seperti biasa ia turun lima puluh meter lewat kuburan tua – tanpa pernah kutahu kenapa ia turun di situ – setiap hari. Tiap kota kuberi jatah paling lama tiga bulan. Satu bulan untuk mengenal kota dan kenalan sana-sini. Satu bulan untuk cari gara-gara, maksudku melakukan apa yang bisa kulakukan di sana. Sisanya memikirkan destinasi berikutnya.

Alma tentu senang jika kutunda kepergianku barang satu atau dua bulan. Dari gerak-geriknya, mungkin dia sedang jatuh cinta padaku. Ia tak pernah terlambat membawakanku sarapan pagi. Kamar sewaannya tepat di samping kamarku. Dia senang memasak dan lebih senang jika masakannya dinikmati sampai habis. Aku satu-satunya orang, katanya, yang selalu menghabiskan masakannya.

Agar ia tidak begitu kecewa, sebaiknya kuberikan hadiah perpisahan. Seperti kota lainnya, aku tak pernah berjanji pada siapapun di sana bahwa aku segera kembali. Aku tidak suka pulang pergi. Aku suka terus berjalan, ke manapun asalkan aku tidak berhenti. Hidupku bukan untuk menetap, kurasa. Hmm... sebaiknya aku memberi Alma, sebuah Almari.

Karena ia sering turun dekat kuburan dan aku ingin pergi dengan keren, sebuah pahatan Almari (aku punya souvernir berukuran sekepalan tangan) dan tengkorak bayi kucing. Tentu toko ini menjualnya.
Maksudku apa yang tidak dijual di toko ini. Tokonya berisi segala rupa barang. Dari keset bekas hingga sebidang tanah. Pemiliknya selalu memberi informasi di mana pelanggan dapat menemukan yang dicarinya jika kebetulan ia tidak punya. Dalam bau apek dan pengap tokonya, aku dibawa ke sederet rak memajang stoples-stoples berisikan kebutuhan kelas sains. Di antara awetan katak dan ular albino, stoples bening berisi kerikil-kerikil berpenampilan jauh lebih menarik dari yang lainnya, tepat dalam rak di belakang. Pikirku, orang mana yang ikut-ikutan hobiku mengoleksi batu?

“Barang jualan kelompok daur ulang dari gang sebelah,” kata pemilik toko. Kubayar tanpa menunggu kembalian. Si bapak mengacungkan tengkorak bayi kucing, lantas aku keluar toko dengan hati hampir meledak.

Alamanda, Swarsa, New Delphia, dan sederet nama kota lain, tempat-tempat yang pernah menerimaku dengan bijak tertulis di tiap kerikil itu. Dan batu yang tampak begitu kentara dari luar stoples bertuliskan nama kota apung kecil. Kota yang jelas tidak tertulis dalam peta. Tempat paman Gaiman yang mungkin sedang menungguku.

...


  • Penggalan tulisan ini adalah bagian dari cerpen Pulau Gaiman yang lolos sebagai finalis kategori kolaborasi dalam proyek menulis yang diselenggarakan NulisBuku.
  • Untuk mengikuti kelanjutan cerpen Pulau Gaiman, dapatkan buku "Kejutan Sebelum Ramadhan" kategori Kolaborasi Terbaik. Untuk cara pemesanan, klik disini.
  • Reblogged from Nokturnalinea.com

23 June 2013

Tulisan ini diketik dalam kondisi masih dibawah euforia, sudah kenyang dan sudah wangi. Tulisan berikut  juga sebagai review yang bisa dibaca teman-teman yang tidak sempat hadir. Bagi readers yang hadir, harap bisa memberi komentar.

Hari ini 23 Juni 2013, mungkin akan jadi satu hari yang tidak terlupakan, kecuali saya amnesia atau alzheimer suatu saat nanti (tidak amin). Pasalnya, hari ini idol-group yang juga sister-group dari AKB48 yaitu JKT48 menghelat perutunjukan perdananya di Makassar. Sebagai Japan-Lovers yang 'setengah-setengah', tentu saja ini menarik perhatian tersendiri buat saya. Di samping pertunjukkan mereka yang jelas 'memukau' mata, lagu-lagu mereka yang kawaii ala film anime Jepang juga sudah lama nyaman di telinga.



Berbekal semua alasan itu, berburulah tiket. Sebisa mungkin gratis dan sejelek-jeleknya dapat harga diskon.. Alhasil, lewat perjuangan yang berat - iya, berat sekali- tiket konser perdana di Makassar itu bisa sampai di tangan. Terima kasih banyak untuk @ariiharyanto sang raja kuter (kuis hunter, red) yang memenangkan tiket ini lewat kuis twitter dan memindah tangankan padaku, fufufu. Thanks a lot!

Tiket invitasi dari hadiah kuis yang dimenangkan @ariiharyanto. Harusnya tiket in bisa  dipakai sebagai special access dan foto bareng member, namun karena solid dengan fans JKT48 yang lain, saya tetap ngantri di gate. Bego sama solid beda tipis.


Di venue, penonton sudah membludak. Satu-satunya orang yang saya kenal disana adalah @awantopsy. Lelaki berkumis dan semi janggut tampan dan menawan ini jelas hadir karena dia adalah member Shinseki48 Makassar (Komunitas fans idol-group 48). Dan begitu MC memanggil nama JKT48, lampu dipadamkan, hanya sinar lightstick warna-warni dari para penonton yang menerangi sekitar. Dalam keegelapan, beberapa member mengatur posisi di stage diiringi riuh suara penonton. Dan dimulailah lagu pertama. Sesi pertama dibawakan tiga lagu sebelum para member memperkenalkan diri satu persatu. Penonton dibuat panik karena sesi kedua disebut sebagai sesi terakhir, Sebelumnya memang kami mendapat info bahwa JKT48 hanya akan membawa 6 lagu di konser ini. Tapi namanya fans, semangatnya tidak luntur. Setelah lagu terakhir di sesi kedua, para member menghilang ke balik stage begitu saja. Serentak para penonton meneriakkan "ankoru!", yang berarti encore berulang-ulang. Bentuk apresiasi para fans kepada member yang berarti pertunjukan menarik selama dua sesi itu. Dan akhirnya, para member kembali ke stage, sekali lagi, dalam kegelapan. Begitu lampu disorotkan ke arah panggung, para penonton teriak dengan girangnya. Kostum para member sudah berubah ke kostum River! River adalah single terakhir JKT48 yang akhirnya menunjukkan jati diri idol-group ini. Jika sebelumnya mereka selalu diberi setlist lagu yang bergaya kawaii, lewat River mereka akhirnya diakui oleh sister-group lain bahwa JKT48 cocok dengan lagu yang nge-beat dan penuh semangat. Identik kawaii khas JKT48 kemudian berganti menjadi sporty.

Parade lightstick

Member memperkenalkan diri

Para member ngobrol sama fans nih

Gha-chan, akk!


Setelah dua lagu dibawakan dalam sesi encore ini, para member mengisinya dengan aksi panggung bak fashion show yang dibagi dua sesi. Jadi, tiap member berlenggak-lenggok dan memperkenalkan diri sekali lagi. Ada moment dimana Ghaida (akk!) jatuh :| Poor, Ghaida. Tapi show must go on. Setelah dua sesi fashion show dan semua member sudah (sekali lagi) berganti kostum, lagu terakhir dibawakan, Hikoukigumo. Terakhir, para member mengucapkan terima kasih sekali lagi, melempar kiss-bye dan membungkuk sebagai tanda penghormatan kepada para fans.




JKT48 Live In Makassar, kawaiii...!

Ini beberapa list lagu yang saya tahu dibawakan pada konser di Makassar (jika saya tidak salah):
  • Overture
  • JKT Sanjou
  • Heavy Rotation
  • Kimi no Koto ga Suki Dakara (Karena Kusuka Dirimu)
  • Ponytail to Chou-chou (Ponytail dan Shu-shu)
  • Baby!Baby!Baby!
  • Aitakatta (Ingin Bertemu)
  • River
  • Oogoe Diamond (Teriakan Berlian)
  • Gomenne, Summer (Maafkan, Summer)
  • Hikoukigumo (Jejak Awan Pesawat)

Konser yang diberi nama "Perkenalkan, Nama Kami JKT48" ini jelas akan menjadi memori tersendiri untuk semua penontonnya. Saya juga membuat beberapa catatan tambahan dari konser ini yang saya jabarkan di bawah.
  • Pihak panitia yang mengumumkan open gate pada pukul 15.00 WITA ternyata mundur satu setengah jam. Ditambah lagi, antrian masuk membludak karena hanya ada satu gate sementara penonton terbagi menjadi dua tiket festival. Alhasil, aksi dorong dan tidak tertib pun terjadi.
  • Sound system saya rasa baru mencapai titik maksimal begitu masuk sesi encore saat River dibawakan. Entah ini trik panitia atau dari official JKT48 sendiri. Overall, pertunukkan dari awal sampai akhir sangat menghibur.
*) Post ini kemudian dikutip di:

22 June 2013

Cerita Mati

Aku pernah berjanji padamu dalam hati, aku tak akan melupakanmu sampai mati. Ah, tampaknya itu hanya cerita basi. Kau lebih memilih tidur dengannya dengan alasan permainan yang ingin kau nikmati. Bergelut dalam selimut berpelangi dengan keringat dan wajah merona pasi.

Aku tidak pernah membenci masa itu. Ketika kau lebih memilih satu dan itu bukan aku. Lalu berpetualang mencari madu. Lalu kau malu-malu. Tiga tahun kuhabiskan menunggumu. Kupikir itu hanya bayangan semu yang kemudian kau taburkan seraya garam diatas semua lukaku. Ah, masa lalu.

Aku punya pesan yang tak pernah kau baca. Aku tak tahu jika kau punya serupa. Biar aku coba, "Aku pernah berjanji padamu dalam hati, aku tak akan melupakanmu sampai mati." Tapi, itu hanya pesan belaka. Bukan nyata jika tak pernah terungkap adanya. Hanya disimpan dalam hati lalu meresap dalam dada. Menjalari urat syaraf, membutakan mata. Menutup semua pintu cinta lewat sentuhan dan tegukan kata-kata yang tak sempat keluar dalam sapa.

Aku ingin sekali mengatakan, "Aku pernah berjanji padamu dalam hati, aku tak akan melupakanmu sampai mati," ketika terakhir kau datang ke kota ini. Tapi bukan itu yang seharusnya terjadi.

Ada yang seharusnya terjadi, namun lebih baik tak terjadi. Saat semua tak seharusnya...

27 May 2013

Kapan Ke Jakarta Lagi?

Aku mengenal sebuah wajah dari tulisan. Ukirannya menggaris dari raut ceria hingga tawa. Hampir tak ada derita di mata dan senyum kemudian.

Aku enam belas hari di tanah ibukota untuk beberapa mimpi, dan banyak mimpi yang kubawa. Hampir tak bisa diburu guruh langit empat hari terakhir. Ia mengawan hitam lalu menangis dalam kelam.

Aku sudah menghubunginya lewat semua media. Ya, pemilik wajah ceria, aku mengantarkan mimpi punyaku sendiri. Jika tidak, untuk apa aku hanya berbekal tiket pulang saat datang. Selalu melangkah dibawah terangnya lampu jalanan ibukota yang kata mereka penuh ancaman.

Seperti malam ini, ketika kata tidur tidak bersahabat dengan mata. Padahal aku sudah terjaga selama kau memberikan pesan kata dan suara. Aku hanya bisa membaca dan mendengar tanpa menyentuhnya. Tanpa menyentuhmu.

"Kapan ke Jakarta lagi?"

Aku pernah melangkahkan kaki tanpa sengaja disana. Karena memang baru, karena aku pemalu. Jika kau tahu betapa lebar senyumku begitu mengenali gedung yang tiap hari harus kulewati, mungkin kau tak akan bertanya melulu. Dan aku berharap kau sedang memandang keluar saat itu, entah dari lantai berapa, kemudian mendapati seorang dengan senyum lebar bak orang gila di penghujung suatu senja. Mungkin, kau akan bisa tertawa sejenak, dan melupakan penat praktikum seharian.

Atau kita bisa saja bertabrakan mata, saat aku melangkah pelan dan mengidentifikasi wajah-wajah dibalik almamater biru di penghujung senja hari lainnya. Wajah-wajah penuh semangat sepertimu. Aku juga pernah berharap kau menggunakan layanan dari bank yang sama, agar kita berpapasan di ATM depan gedung itu. Lalu bertanya kabar, lalu pergi bersama keluar.

Mungkin kita bisa sama menikmati dentuman harmoni nada yang memekakan telinga, lalu saling menatap, lalu berteriak. Mimpi orang-orang yang kubawa kesana akan berbaur dengan mimpiku, dan tak ada yang lebih sempurna dari itu. Aku sudah siap, bahkan sebelum langkah pertamaku. Walau semua keraguan jelas datangnya pada hari yang paling ditunggu. Aku menumbuhkan kumis tipis kala itu. Hihi, lucu.

Ah, betapa indah dunia dalam imaji. Bisa membunuh sepi dan sunyi juga mimpi. Terjaga bersama jejak-jejak kecil bersama deru angin yang membawa hujan subuh ini.

"Ke Jakarta lagi dong? Biar bisa ketemu."

Tak perlu ibukota, jejakmu masih ada di pulau dewata. Beberapa ingatan menjadi gambar yang menyiratkan kita bersama. Deru angin dan ombak menggulung, memulung satu demi satu potongan senyum keindahan. Lalu, ya, kita setuju. Diantara suara alam paling indah, ini yang paling indah.

Hanya satu potongan yang tak sempat kugariskan ke masa mu. Pulau tebing dan batu, lengkap dengan jatuhnya matahari paling indah kemudian menyatu. Dengan itu semua, kita sekali lagi bersama.

***

Kita mungkin sudah bertemu. Tapi bukan di dunia ini. Mungkin sebelumnya, atau setelahnya. Atau hanya dalam rangkaian cerita yang kuharap kau adalah penulisnya.

29 April 2013

Saya, Kelebihan Merindukanmu

"Yah, hidup memang selalu terasa lembut dan manis, seperti satu slice tiramisu cake. Jika menikmatinya terlalu banyak, yang ada hanyalah rasa pahit. Namun apabila setiap hal dinikmati sesuai porsinya, maka kelembutan dan rasa manis itu akan bertahan selamanya."

Satu paragraf yang kusuka dari buku ini. Ya, hanya satu paragraf itu, melumpuhkan keluhanku atas seluruh isi buku. Ia cermat diletakkan dua halaman sebelum cover belakang, satu halaman sebelum halaman promo buku lain.

Buku dengan tagline "Cintaku selembut keju, sepahit kopi" ini menipu dari segi cover. Don't judge the book by it's cover, and now I'm agreed with that. Patah, kalimat dan paragraf itu seakan jadi juru selamat.

Karena itu saya tidak akan membahas buku itu di postingan kali ini. Lebih kemana kalimat dan paragraf itu seharusnya ditempatkan, perasaan.

Sesuatu yang berlebih memang selalu tidak lebih baik. Terlalu rindu, terlalu sayang atau bahkan terlalu terobsesi akan sesuatu, atau mungkin seseorang. Jika orang bisa kecanduan kafein dan nikotin, saya kecanduan tiramisu. Bukan potongan kecil kue seperti simbolis diatas, tapi cair dalam kungkungan gelas sekali pakai.

Ia hadir lewat sebuah tombol, begitu instan, begitu ekstra. Ia begitu manis, sampai tak perlu menumpahkan gula, menghalangi rasa. Ia, tiramisu dan kopi yang manis, tak ada kepahitan dalam rasanya. Membuatku ingin terus tambah, tambah dan tambah.

Lalu pahit. Lalu dingin.

Saya kelebihan tiramisu...

Saya kelebihan merindukanmu...

19 April 2013

Kamu, Selalu

Langit terlalu biru untuk tak kita nikmati. Seorang pria merebahkan tubuhnya diatas rumput pinggir lapangan yang sering didatanginya belakangan. Menumbukkan tatapannya pada langit yang bergerak dari sela-sela daun pohon tua. Pramudya menyelipkan earphone di telinganya. Lagu yang sama setiap hari didengarnya. Lagu yang melempar memorinya pada ingatan lalu. 

Sepasang perahu kertas bertabrakan di sudut aliran air muka kelas. Pramudya kecil hanya bisa tertawa melihat sepasang perahu kertas itu perlahan tenggelam. Begitu juga yang dilempar tawa, terbahak. Sekelebat bayangan putih, Pramudya sudah berada diatas sepeda yang melaju kencang. Dipacunya makin kencang hingga teriakan yang diboncengnya juga selaras kencangnya. Mereka tertawa disela napas yang tersenggal. Alunan lagu masih mengalir, tanpa sepengetahuannya, seragam sekolahnya sudah basah kuyup. Tas sekolah sudah jadi atap. Pramudya berlari kecil memburu yang diburunya menembus hujan. Dibandingkan deru air mata langit, tawa mereka menggelegar. Berhenti, berteduh pada satu atap, saling melempar senyum. 

Celana pendek basahnya seketika memanjang. Warnanya pun luntur dari biru menjadi abu-abu. Ditelinganya menempel telepon seluler yang digenggamnya erat. Wajah tersenyum disampingnya mendadak hilang. Berganti suara merdu di seberang. Menanyakan kabar dan bertukar rindu. Baru saja ia ingin bermanja, telepon genggammnya tak mengeluarkan suara, hanya aroma manis. Sebatang coklat terganti disana. Rambut berguguran dibalik topinya. Pramudya mendadak botak. Ia tak lagi bermanja melalui kotak suara, sesungging senyuman sudah tersaji dihadapannya. Pramudya kikuk, sepasang mata dihadapannya sama kakunya. Mereka hanya tiga puluh satu menit disana. Masih dengan perasaan asing yang sama, seketika pria yang sama asingnya muncul disampingnya, dihadapan Pramudya. Perut orang yang ditatapnya mendadak membengkak. Tapi senyumnya sama lebarnya. Mereka berdua kemudian tersenyum. 

Lalu semua gelap.

Dalam kebingungan, Pramudya membuka mata. Langit masih biru dengan awan berarak melintasi lapangan itu. Terduduk, bersandar pada batang besar pohon tua itu. Lagu yang sama masih mengalun disana.

"You are always gonna be my love." Utada Hikaru - First Love

13 April 2013

Apakah kita?

Pramudya baru saja mematahkan pensilnya yang ketiga. Senja sudah lewat sejam yang lalu. Besok harusnya libur. Tapi yang ia lakukan hanya bisa bergumam. Lebih mirip desahan dongkol. Ditambah udara lantai enam belas gedung yang tidak menyisakan oksigen untuknya. Di mejanya, laporan belum kelar dan gambar sketsa yang bahkan tidak menyerupai wajah, bertumpuk. Halaman paling muka, kepala bulat telur dengan lebar diatas dan runcing di bawah. Mata serupa parasut bergelantungan yang jatuh di lubang menganga penuh gigi tajam.

Pramudya mendelik ke kotak kaca raksaksa tepat di depan meja kerjanya. Sosok yang ia tuangkan dalam gambar sedang hilir mudik disana. Tidak dengan kepala bulat telur, mata parasut dan mulut seraya lubang menganga bergigi tajam. Malah kebalikannya. Pria tinggi tegap dengan setelan yang terlihat mahal. Alis tebal dan mata menantang, hidung mancung dan bibir tipis dihias sedikit kumis. 

Pramudya seharusnya pulang empat jam lebih awal. Belum lagi telepon selulernya yang kini disilent karena terus berdering. Menunjukkan layar bertuliskan 'Darling Calling' enam belas kali tanpa jeda. Membayangkan tiket film di dompetnya yang sedetik lalu resmi diputar di bioskop langganannya. Terlebih membayangkan wajah si darling yang lebih mengerikan dibanding kepala telur yang ia gambarkan barusan. Dan melihat situasi seperti sekarang, tampaknya ia baru bisa beranjak dari situ 4 jam kemudian.

Sial! Batinnya terus-menerus. Ini bukan salahnya, juga si darling. Ia hanya ingin membahagiakan si darling dengan bekerja di tempat yang bukan jurusannya, bukan bidang keahliannya. Untuk apa ia menggambar dengan pensil jika ia bisa melakukannya dengan komputer super canggih jaman sekarang. Ia tentu tidak perlu berurusan dengan makhluk kepala telur.

Ia juga susah menyalahkan si kepala telur. Ia atasannya, jauh lebih punya kuasa. Memandang matanya saja Pramudya tak pernah berani, apalagi menentang kehendaknya, termasuk pulang kerja lebih larut. Tapi tidak kali ini, si kepala telur kelewat keterlaluan. Ah, ya! Ini salah Kinar! Gadis yang kelewat manis untuk ukuran si kepala telur. Untuk apa ia sok-sok-an memacari orang kaya ini kalau kemudian ia mencari orang kaya lain. Untuk apa ia bertunangan jika akhirnya ia memutus hubungan. Untuk apa ia berwajah manis jika hati seperti iblis. Untuk apa...

Pintu kaca ruang kaca raksaksa itu terbuka. Si kepala telur tanpa gontai berjalan tegas ke arahnya. Pramudya kembali menunduk, siap-siap untuk hanya mengangguk. Ayal-ayal diteriaki, laporan dan sketsa yang ia kerjakan dari pagi tadi dihempas begitu saja di meja, mengenai wajahnya, melukai harga dirinya.

Pramudya baru saja mematahkan pensilnya yang ketiga untuk kedua kalinya. Ia tau apa yang harus ia lakukan berikutnya. Membuat surat pengunduran dirinya yang baru saja mematahkan hidung si kepala telur. Untuk pertama kalinya.


"Are we human? Or are we dancer?" The Killers - Human

04 April 2013

Kebebasan

Ada sebuah kata dalam film yang barusan saya tonton. Kata ini menggangguku hingga menyalanya lampu dan dibukanya pintu keluar studio. Begitu juga pertama kali menatap langit berteman awan, komposisi paling indah dengan warna biru-putih. Sepasang burung melintas di depan pemandangan itu. Meliuk kesana-kemari, menghiraukan angin. Seolah angin tak pernah ada untuk mereka. Mereka bebas menentukan arah kemana sayap mereka menutun. Ya, kata itu adalah 'kebebasan'.

Selama ini saya tak pernah berpikir jauh soal arti kata itu. Sampai tadi, kuulang dan terus kuulang. Kebebasan...kebebasan..kebebasan... Apa saya pernah sejenak meraihnya? Apa saya pernah benar-benar merasakan yang namanya kebebasan? 

Pertanyaan itu kemudian mengikutiku sampai ke tempat kerja. Kebetulan salah seorang teman terpaksa tidak bisa hadir di shift yang sama dengan alasan kedukaan. Salah satu keluarganya meninggal barusan. Ah, kematian? Apakah itu berarti kebebasan? Bukankah seseorang yang mati kemudian terbebas dari belenggu dan aturan-aturan dunia yang ini-itu. Jika tidak ini, kita akan itu. Jika begitu, akhirnya kau akan seperti ini. Semua serba aturan. Saking banyaknya, mungkin itu yang membentuk jiwa-jiwa manusia muda dengan kalimat, 'peraturan dibuat untuk dilanggar'. Mereka muak, sesak, terkekang. Itu sebabnya mereka membuat 'peraturan diri' agar terbebas dari aturan yang ada. Saya pernah berada dalam posisi seperti mereka, saya tidak mendapat kebebasan dari melanggar peraturan.

Dari kabar itu juga saya akhirnya berpikir, apakah sekarang saya mendapat kebebasan? Sendiri di kantor, yang jelas diluar jam sibuk seperti ini sangat sepi. Saya bebas melakukan apa saja, sendiri. Main game, dengar lagu sambil nyanyi-nyanyi, pakai modem sepuasnya. Apakah ini kebebasan? Melakukan semau kita sesuai kondisi yang ada memungkinkan semua itu. Tidak, saya sekali lagi tidak merasa ada kebebasan dalam melakukan hal-hal itu. Buktinya, saya masih terus menulis.

Ah, ya! Menulis! Saya sudah menulis beberapa postingan dan beberapa kata untuk proyek lain, dan saya tidak ingin berhenti. Seperti saat saya menambahkan kata dalam kalimat, tanpa sadar saya sudah melakukan sesuatu pada sosok di dalam cerita tersebut. Apakah saya ingin membunuhnya, membuatnya tertawa atau membuatnya murung melihat orang yang ia cintai terluka. Atau ketika saya berbagi dengan orang lain. Atau ketika saya menyelipkan kamu dalam selipan kata pengganti di tengah-tengah tulisan saya. Saya merasa bebas untuk itu, Saya menemukan kebebasan dalam menulis. Seseorang pernah berkata, "Bahagia pasti rasanya jika kita hanya bisa menulis dan menulis. Seperti menjadi diri kita sendiri." Ya, dia benar. Saya merasa menjadi diri saya sendiri ketika menulis. Saya tidak butuh banyak ruang, banyak rupa, bahkan banyak cinta. Dengan kematian, kesunyian, nama kamu diselipan kata, sudah cukup membawaku pada kebebasan mengikuti jari-jemariku.

Menulis... ah, ya... mungkin saya akan melakukannya selama saya mampu. Hal kecil yang membawa saya pada kebebasan.

03 April 2013

Review Film : Madre

Finally, I got to see this movie, Madre. Film besutan Benni Setiawan yang dipercaya sebagai sutradara sekaligus penulis skenario ini, diadaptasi dari buku kumpulan cerpen Dewi Lestari alias Dee. Siapa yang tidak tau kehandalan tulisan wanita yang satu ini, apalagi dijadikan film. Perahu Kertas dan Rectoverso sudah sukses membanjiri bioskop. Saya sendiri sangat suka dengan dua judul film diatas, begitu pula bukunya.

Madre, yang berarti 'ibu' dalam bahasa spanyol ini, adalah nama sebuah biang roti dari suatu toko roti, Tan De Bakker. Biang roti ini diwariskan pada seorang pemuda Bali bernama Tansen Roy Wuisan (Vino G. Bastian) oleh Tan Sie Gie yang tak pernah dikenalinya. Usut punya usut, Tan adalah kakek Tansen. Dalam sehari, sejarah hidupnya berubah. Sebagai manusia yang 'bebas', Tansen berniat menjual biang roti tersebut kepada Mei (Laura Basuki), seorang pengusaha toko roti yang sudah besar dan ternyata salah satu blogwalker di blog Tansen sendiri. Toh, dia tidak lihai membuat roti.

Dalam perjalanannya menghidupkan Madre dan Tan De Bakker, asmara diantara keduanya hidup dan bersemi. Bagaimana mereka menghidupkan perasaan mereka berdua? Sakiskan Madre di bioskop kesayangan kamu, sudah mulai tayang sejak 28 Februari 2013 lalu loh.

Dari struktur cerita, siapa tak kenal Dee begitu menuangkan ide-idenya dalam tulisan. Saya sendiri adalah pencinta tulisannya. Bayangkan, bagaimana detail ia menjelaskan tahap-tahap pembuatan roti, dibumbui asmara Tansen dan Mei. Namun, sebagai pencinta dan penikmat film Indonesia pada khususnya, kita memang tidak bisa terlalu berharap banyak pada film yang diadaptasi dari buku. Pasalnya, dalam buku, pembaca menentukan sendiri imajinasi mereka, sehingga saat dituangkan dalam film para pembaca akan merasa kecewa sendiri karena tak sesuai deskripsi imajinasinya. Memang, tak ada yang mampu mengalahkan imajinasi pembaca.

Disinilah peran penulis skenario dan sutradara berperan. Dalam Madre, Benni Setiawan yang mengambil kedua peran tersebut. Dengan pilihan tepatnya mengeset Tan De Bakker ke Bandung -bukannya Jakarta seperti di bukunya-, Benni sukses menghidupkan kesan klasik dari toko roti berumur puluhan tahun tersebut. Juga beberapa intrik yang kemudian diciptakan sebagai bumbu pelengkap mata dan cukup mengaduk perasaan penonton. Khikmawan Santosa, Afgansyah Reza dan Nadya Fathira juga sukses menghidupkan Madre lewat lantunan merdu musik yang mengiringi perjalanan Tansen dan Mei.

Film ini, bagi saya, sukses menghidupkan semua karakter di dalam buku tersebut. Vino G. Bastian dan Laura Basuki memiliki chemistry yang kuat dalam memerankan karakter masing-masing, dari yang senang, sedih sampai canggung-canggungnya mereka saat bertemu satu sama lain. Menampilkan scene-scene yang membuat mata tak mau berkedip, khususnya adegan yang diambil di Bali. What a beautiful waves! Scene tersedih buat saya sendiri bukan pada saat Tansen dan Mei saling merasa kehilangan, justru saat Pak Hadi tau Madre akan dijual. Oh iya, Pak Hadi diperankan oleh aktor kawakan, Didi Petet. Jelas kan maksud saya kenapa scene itu saya pilih sebagai yang tersedih, hehe.

Intinya, film ini sekali lagi akan meramaikan bioskop tanah air. Waktunya membuat film Indonesia menjadi tuan rumah di negara sendiri. Two thumbs up for all crew Madre The Movie!

Tansen   : "Yaa, siapa yang tahu, kayak kita ketemu sekarang ini."
Mei          : "Tuhan."

28 March 2013

Mbah StuDiak

Semalah saya kerasukan sepi. Memiliki shift kerja diluar jam kerja normal kadang membawa kebosanan tersendiri. Dengan bermodal modem internet yang baru saja pulih dari sakitnya, hal lain kembali merasuki saya. Namanya Mbah StuDiak. Ia ahli meramal berdasarkan zodiak. Jodoh, rejeki sampai karir mampu ia jabarkan. Tentu saja dengan kekocakan ala Restu yang garing. So, inilah bahasan Mbah StuDiak selama mengisi kebosanan :

Aquarius gak cocok sama Aquarius, bisa banjir. - 7:47 PM - 27 Mar 13 
Aquarius cocoknya sama Pisces. Saling melengkapi. *ihhik* - 7:50 PM - 27 Mar 13 
Aquarius juga cocok sama Cancer, yaaa walaupun si Cancer besar kemungkinan mendua dengan naik ke darat. pfft. - 7:51 PM - 27 Mar 13
Aquarius paling gak cocok sama Capricorn. Pernah, liat kambing mandi? - 7:51 PM - 27 Mar 13
Buat kamu yang berzodiak Capricorn, kamu cocok banget sama Libra. Mereka serasi sekali saat berdampingan di Idul Adha. - 7:57 PM - 27 Mar 13
Untuk soal rejeki, Libra adalah yang paling adil dalam membagi rejeki itu. Jangan tanya kenapa. - 8:04 PM - 27 Mar 13
Sementara Aquarius adalah orang yang paling derma dalam memberi rejeki *uhhuk* *benerin kacamata* - 8:05 PM - 27 Mar 13
Selain keadilan di pihak Libra, Gemini juga adalah sosok yang adil dalam memanfaatkan rejeki. - 8:06 PM - 27 Mar 13
Lanjut, Cancer juga adalah orang yang dermawan. Lihat tangannya, lihat! eh maap, capit. - 8:11 PM - 27 Mar 13
Leo sendiri orang yang hemat. Sesuai logonya, karakter Leo membiarkan rambutnya tumbuh panjang dan jarang dicukur. Biasanya setahun sekali. - 8:12 PM - 27 Mar 13
Capricorn punya rejeki yang tak terduga. Ia menjadi alasan kemanusiaan dalam film 'The Terminal'. Sejak itu ia identik dengan Tom Hanks. - 8:13 PM - 27 Mar 13
Gadis Virgo juga bisa punya rejeki yang banyak. Dengan catatan jika ia masih Virgo.  - 8:14 PM - 27 Mar 13
Aquarius cocok menerapkan bisnis berbasis air. Contohnya buka usaha WC umum atau tempat bilas dipinggir pantai. - 8:17 PM - 27 Mar 13
Pisces sudah jelas, lebih berjaya dengan hal-hal berbau ikan, seperi di pasar ikan. Mereka cocok jadi tukang parkir disana. Ramai. - 8:18 PM - 27 Mar 13
Aries sendiri jelas cocok berprofesi sebagai guide pendaki. Gunung sudah jadi ciri khas mereka. Gunung bro, gunung.  - 8:19 PM - 27 Mar 13
Karir Scorpio akan melonjak saat ia punya ekor. Berperan sebagai Sun Go Kong di layar lebar contohnya. - 8:23 PM - 27 Mar 13
Profesi yang cocok untuk Libra? Sudah jelas, kan? Tuh di pasar banyak timbangan. - 8:24 PM - 27 Mar 13
Yang pengen kawin sama orang kaya, cari calon yang berzodiak Sagitarius. Hanya orang kaya yang bisa implan tubuhnya ke badan kuda. - 8:25 PM - 27 Mar 13

Juga ada sesi khusus, Tanya Mbah :

: Kalo Virgo cocok sama apa ya Mbah?
Jawab : Virgo cocoknya sama Sagitarius, Cu. Mau pacaran sama kepiting?
 : gagalki jadi peramal, yang kepiting itu cancer *balikin duit saya! Hahahaha.
Jawab :  wah, you don't get it yah, Cu. satu"nya zodiak yang punya bentuk badan cowok ya Sagitarius. pan cocok tuh sama Virgo yang Virgin.

: Mbah klo taurus cocoknya sm apa? :3
Jawab : Taurus cocoknya sama Aries, Aquarius dan Sagitarius. Sama-sama berakhiran huruf 'S'.
 : Mbah ,klo sm geminis cocok d',iaa pasti cocok dong dong
Jawab :  Jangan maksa, Cu. Nanti durhaka.

 : cess Pisces! :) (balasan: Aquarius cocoknya sama Pisces. Saling melengkapi. *ihhik*)
Jawab : ogah, saya masih normal :|

: scorpio dong, kaka :D
Jawab : ah ya. Asmara Scorpio sangat keras. Jika ia tidak suka dengan pasangannya, ia cukup meracuninya. Rejeki, sepanjang ekor.
 : beware of scorpio girl :D | tapi wanita scorpio itu wanita sesungguhnya loh
Jawab : iyah, kecuali mereka hermafrodit
 : iya, iya. ga usah sebut tampakan gueeeh :|

: mbah dukun..klo aries gmn..?? :D
Jawab : Asmara Aries, jika cinta, ia bisa seperti naik keatas gunung, jika patah hati ia bisa seperti kambing" lain, gulai.

 kapan belajar astrologinya? :|
Jawab : barusan, di google
 : ramalin dong kaka :3 kapan gitu dompet saya bisa unlimited?
Jawab : kamu zodiak apa, Cu?
 : gemini
Jawab : Gemini cocoknya punya dua dompet, walau kosong setidaknya punya dua.

: pasti suka baca primbon nih
Jawab : primbon yang suka baca saya, Cu

 : musrik itu paling dekat ma neraka loh stu :p
Jawab : iyah, kayak kamu main musrik di BOTM (salah satu band yang tidak terkenal di Makassar, red)



27 March 2013

Hujan Maret

Hari ini hujan deras, sementara Ibu tidak berhenti mengirim pesan singkat lewat telepon seluler yang tak ia hapal letak tombolnya, hanya untuk sekedar mengingatkanku agar tak lupa makan.

"Restu ko sudah makan ka? Dirumah ada ikan."

Aku tak pernah benar-benar suka ikan. Aku sering tersedak tulang. Tapi Ibu selalu membuatnya. Ayah suka ikan. Seperti kecintaan ayah akan sepatu. Sejak aku kecil, tak pernah kudapati sepatunya kotor. Selalu disikatnya sepatu kesayangannya itu lengkap dengan semir hingga mengkilap. Dilakukannya pukul 4 pagi, setengah jam sebelum mobil jemputannya datang.

Aku selalu terbangun pada jam-jam segitu. Bukannya kembali tidur, aku selalu mendampinginya diruang tamu. Ia dengan kepulan asap rokok dan kopi hitamnya, aku dengan guling dan mata setengah terpejam. Tanpa kata.

Silau lampu mobil yang kemudian menjadi kode melepas kepergian ayahku meneruskan langkahnya mencari nafkah. Aku berdiam di teras sampai mobil itu hilang bersama senyum dan tatapan ayahku. Pintu kukunci setelahnya, sudah tugas harianku.

Belum lama ini aku pulang dari Pulau Dewata, hanya dengan buah tangan alas kaki untuknya. Aku menggembel disana, aku hanya ingat ia suka mengenakan sendal di dalam rumah. Agar tidak kedinginan kakinya, katanya. Alasan itu selalu ia gunakan sejak susah berjalan dua tahun belakangan. Wajahnya serupa mendengar kabar mendapat cucu baru. Bukan, bukan saat mengetahui ada oleh-oleh yang kubawa, tapi sejak aku mengucap salam memasuki rumah malam itu.

Paginya rutinitas sudah kembali seperti sedia kala. Pekerjaan sudah memanggil serupa suara debur pantai Kuta yang terasa masih saja terdengar. Selalu menyimpan rindu dan misteri agar kembali lagi suatu saat nanti. Kudapati sepatuku sudah mengkilap. Kutatap wajahnya, ia hanya nyengir kuda.

Ia melepas kepergianku mencari nafkah dari balik pagar. Setengah berteriak, "Hati-hati," bersaing dengan deru knalpot motorku. Dengan tak menepikan tatapannya seusai motorku hilang di perempatan. Aku mengikuti wajahnya lewat pantulan kaca. Ia tak pernah mengunci pintu, mengingatku selalu pulang larut dan mereka sudah terlelap.


Dunia tak pernah berubah, hanya tempat kita yang berubah. Tinggal sepintar apa kita menempatkan diri kita. Akhir tahun Ibu sudah menghujaniku. Kini giliran Ayah yang membuatku menjadi lelaki dengan gelembung air di sudut matanya. Sudah cukup ia yang menjadi lelaki itu. Kini, giliranku. 







Review 'See You When I See You' karya Namirasicha


Cinta dan persahabatan adalah bumbu paling sedap dalam tulisan. Ide ini diterapkan Namirasicha dalam karya terbarunya, See You When I See YouBumbu sedap nan sederhana ini dilengkapi dengan kisah cinta segitiga yang rumit, dipanaskan dengan konflik cerita dan plot yang tak berubah dari cirri khas penulisnya, dan dihidangkan dengan detail matang.

See You When I See You, sebuah kisah yang bercerita tentang 4 sahabat, Cheryl, Benji, Jemima dan Ezra. Keempatnya sudah terikat persahabatan sejak kecil, especially, Benji dan Cheryl yang sudah bersama sejak sekolah dasar.

Cewek dan cowok selamanya tak akan bisa menjadi sekedar sahabat, pesan dalam kisah ini. Kau tidak tau kapan kau akan menaruh hati kepada sahabatmu, bahkan kau tidak tahu sahabatmu menyimpan rasa yang sama. Hanya saja mewujudkan perasaan itu bukan hal yang mudah. Belum lagi, masing-masing dari mereka memiliki mimpi yang ingin diwujudkan. Akhirnya, persahabatanlah yang akan dikorbankan. Itulah yang terjadi pada keempat sahabat ini.

Pada akhirnya, mereka harus bertarung dengan perasaan dan egonya masing-masing. Apakah mereka akan tetap menjaga lingkaran persahabatan itu, atau malah melewati batas dengan meluapkan segala perasaan. Kalau penasaran dengan kisah 4 sahabat ini dalam mengejar mimpi dan cintanya, kamu wajib baca novelnya. Jangan harap nyari di Gramedia bisa dapat, karena emang belum masuk disana :p

Basically, kisah ini terdengar biasa saja. Cinta segitiga bukannya yang paling sering diangkat dalam cerita, baik buku maupun film? Hanya saja, kemasan kisah cinta segitiga dalam See You When I See You dikemas apik dengan mempermainkan rasa penasaran pembaca. Penulis sukses dengan ide (jahil) awalnya, membingungkan pembaca.

Penciptaan karakter juga berlaku sangat baik. Mengarahkan 4 karakter utama dan beberapa karakter tambahan sepertinya mudah saja didirect si penulis. Detail tempat juga menjadi cirri khas penulis. Sicha- begitu ia akrab dipanggil- mampu menggambarkan bentuk ruang dalam cerita dengan baik. Pembaca dengan mudah dapat berimajinasi membayangkan tiap kejadian dalam kisah ini. Saya harus googling dulu saking penasaran dengan keindahan tempat-tempat yang disebutkan di dalam. (hehe) Kesannya, saya tidak hanya membaca novel, tapi juga seperti menonton film. Kayaknya bias penulis yang satu ini direkrut untuk nulis skenario :p

Dari semua kelebihan cerita ini, kekurangannya hanya di detail waktu. Alur waktu kadang melompat terlalu cepat tanpa tambahan detail. Efeknya,pembaca akan merasa sedang berada di suatu tempat, dalam beberapa kedipan, sudah di tempat lain dengan suasana berbeda. Begitu juga untuk ending, sepertinya berjalan dengan lambat. Tapi untuk pembaca yang suka dengan genre tulisan romance seperti ini, malah akan menjadikannya senjata terbaik untuk meningkatkan rasa penasaran.

Overall, this is an A story. A not for point, it for Awesome! Dibuat lebih padat dari dua cerita sebelumnya tapi tidak kalah menariknya. Oh iya, dan jika kamu mengikuti karya-karya Sicha, ada kejutan menggelitik di See You When I See You. *ihhik*

NB ( buat penulis ) : Banyak typo di tulisan ini :3

25 February 2013

Tertidur dengan "Sleepless in Seattle"

Siapa yang tidak tercengang dengan akting Tom Hanks? Atau siapa yang tidak terpukau dengan kecantikan Meg Ryan? Disini, mereka dipertemukan oleh takdir. 

Sleepless in Seattle (1993), berkisah tentang seorang suami, Sam Baldwin (Tom Hanks) yang telah kehilangan istrinya, merasa hidupnya hampa. Sejak itu, ia jarang tertidur. Ia akhirnya pindah ke Seattle, berharap dapat melanjutkan hidupnya tanpa bayang-bayang istrinya.

Anaknya, Jonah (Ross Malinger), yang tak tahan melihat ayahnya seperti itu memutuskan untuk menelepon salah satu stasiun Radio nasional yang kemudian menyiarkan langsung kisah singkat Sam. Tak dinyanya, siaran itu banyak menarik perhatian seluruh negeri, termasuk Annie Reed (Meg Ryan). Annie. seorang jurnalis yang telah tunangan ini seketika terenyuh setelah mendengar kisah Sam di Radio memutuskan bertemu dengan si tak-dapat-tidur-di-Seattle, dengan alasan ingin mengangkat kisahnya. Apa daya, dalam pandangan pertama ia sudah kecewa.

Annie kembali rasional. Tidak mungkin ia dapat jatuh cinta melalui kisah di radio, atau hanya dalam pertemuan pertama, atau bahkan kisah-kisah dalam film. Tapi, semua akhirnya menemukan 'tanda'-nya.

Sleepless in Seattle adalah film bergenre drama yang sangat menyentuh. Bagaimana seseorang mempercayai forever love, seorang anak yang tak tega melihat ayahnya sendiri, dan seorang wanita yang dalam hubungan pertunangannya malah mencintai orang yang hanya didengarnya lewat radio.

Mungkin secara rasional, kita tidak akan mempercayai kisah cinta seperti ini, tapi beberapa dari kita pasti pernah merasakan 'tanda-tanda'-nya. Tinggal keputusan kita, apakah akan diam dan melewatkannya, atau mampu menerima dan mengejarnya seperti Annie.

15 February 2013

Surat Yang Tak Pernah Terkirim

Dear,

Surat putus ini aku tulis disini karena event #7HariMenulisSuratPutus sudah lewat. Sayang, postingan ini tak pernah matang untuk terkirim, padahal aku ingin sekali surat ini terpampang dan terbaca olehmu. Walau begitu, kau bisa membacanya disini.

Ini aneh, kenapa aku mau menulis untukmu? Kita kan tak pernah jadian? Kita? Ah, aku sudah lama tidak menggunakan kata itu untuk kau dan aku. Terakhir aku gunakan itu pada sebuah puisi yang hanya kau dan aku yang tahu. Puisi itu masih ada di blog khusus yang kubuatkan, dimana ia bersanding dengan 2 puisimu yang lain. Aku jarang mengunjungi mereka lagi, sejarang kau singgah di BBM-ku.

Aku kehilanganmu, agar kau tahu. Kita sepertinya sudah tak sama. Mungkin karena kita sudah tidak meminum kopi yang sama. Bukan kita, kamu. Aku masih selalu mengecap rasa yang kau kenalkan padaku. Yang kuberi nama rindu. 

Rindu itu tak pernah enak, jujur. Kamu haru menahan keinginan yang amat sangat sampai rasanya penuh di kepala. Seperti saat aku menahan diri untuk tak memfollow twittermu begitu mendapati kau juga aktif di jejaring sosial yang satu itu. Seperti aku tak tahan untuk menegurmu tiap kita bertemu di takeway cafe tempat biasa kita melempar pandang diam-diam. Atau seperti menahan diri untuk duluan menggubrismu lewat media apapun seperti beberapa minggu ini. Mungkin karena itu, aku mulai menulis lagi untukmu.

Sejak awal bertemu, kita sudah saling menghabiskan waktu dengan orang lain. Tapi tak pernah hilang seperti ini. Ah, maaf. Saat itu aku hilang, aku khilaf. Ia memaksaku tak menghubungimu lagi. Tapi kau sudah mengerti itu sejak kujelaskan. Sejak bertemu lagi, kita lebih banyak berinteraksi. Kau berubah. Makin dewasa dengan semua rencana masa depanmu. Aku makin terbawa padamu karenanya. Tapi apa mau dikata, bukan aku disana. Mungkin ini hukumannya karena aku menghilang dulu.

Kita bukan apa-apa, kita tak pernah menjadi apa-apa. Tapi aku ingin agar kau ingat satu hal. Jika suatu saat kau ingin pergi dan tak pulang lagi, ingatlah, berapa gelas tiramisu yang kuhabiskan untuk menunggumu di tempat itu.

Tre, I miss u. . .

*) surat-surat lain saya bisa kamu baca di http://nokturnalinea.com tagar #7HariMenulisSuratPutus

08 February 2013

#7HariMenulisSuratPutus

Akhirnya balik posting di blog sendiri. setelah sekian lama vakum dari blog sendiri akhirnya postingan bisa ngalir lagi. Eh, bukan berarti gak nulis loh. Belakangan lagi sibuk meramaikan blog tetangga.

Yap, gegara si eky a.k.a @Rezzurrection buat sebuah 'proyek bebersih hati' yang disebut #7HariMenulisSuatPutus, maka sebagai teman yang baik (dan juga pengen membersihkan hati, haha), maka saya hadir dengan rajinnya di proyek tersebut juga.

Banyak yang bertanya kenapa 'menulis surat putus?'

Dari cerita lepas eky, suatu kali ia bertemu temannya yang sedang asik-asiknya di depan laptop. Cerita punya cerita, temannya ini sedang berpartisipasi dalam sebuah proyek akun twitter @PosCinta yang bertema #30HariMenulisSuratCinta. Nah, pertanyaannya kita balik sekarang, kenapa sih harus 'menulis surat cinta'? Cinta bukan hanya yang indah-indah saja, kan? Cinta bukannya memiliki banyak kepahitan terselubung?

Dari ide inilah akhirnya ia mencetuskan tema #7HariMenulisSuratPutus. Eh, ada yang nanya lagi, kenapa harus 7 hari?

Yaaaa kalau 30 hari takutnya pada galau berkepanjangan. Kalau galau berkepanjangan siapa yang mau tanggung jawab hayooo... hahahaha

Pokoknya jangan banyak tawar, temanya adalah #7HariMenulisSuratPutus. Tujuannya adalah bebersih hati. Cukup tulis surat putus dalam rentang waktu itu dan insya Allah hati akan bersih , sebersih piring yang sudah dicuci dengan sabun cuci bebas lemak. 

Total postingan saya sendiri sudah 6 disana. yang mau baca silahkan klik link di menu "Project" di blog saya ini. Sebenarnya sih diluar target, karena saya sebenarnya ingin memuat 7 postingan disana. Apa boleh buat, waktu membatasi dan saya pikir, saya akan memuat surat terakhir di blog saya ini. Sebuah surat yang tak pernah terkirim.

30 January 2013

Exceptional Day SMA N 11 Makassar

Silent But Deadly




Ska With Klasik 






 Efek Rumah Kaca



Souljah