Email Subscription box byLatest Hack

29 April 2013

Saya, Kelebihan Merindukanmu

"Yah, hidup memang selalu terasa lembut dan manis, seperti satu slice tiramisu cake. Jika menikmatinya terlalu banyak, yang ada hanyalah rasa pahit. Namun apabila setiap hal dinikmati sesuai porsinya, maka kelembutan dan rasa manis itu akan bertahan selamanya."

Satu paragraf yang kusuka dari buku ini. Ya, hanya satu paragraf itu, melumpuhkan keluhanku atas seluruh isi buku. Ia cermat diletakkan dua halaman sebelum cover belakang, satu halaman sebelum halaman promo buku lain.

Buku dengan tagline "Cintaku selembut keju, sepahit kopi" ini menipu dari segi cover. Don't judge the book by it's cover, and now I'm agreed with that. Patah, kalimat dan paragraf itu seakan jadi juru selamat.

Karena itu saya tidak akan membahas buku itu di postingan kali ini. Lebih kemana kalimat dan paragraf itu seharusnya ditempatkan, perasaan.

Sesuatu yang berlebih memang selalu tidak lebih baik. Terlalu rindu, terlalu sayang atau bahkan terlalu terobsesi akan sesuatu, atau mungkin seseorang. Jika orang bisa kecanduan kafein dan nikotin, saya kecanduan tiramisu. Bukan potongan kecil kue seperti simbolis diatas, tapi cair dalam kungkungan gelas sekali pakai.

Ia hadir lewat sebuah tombol, begitu instan, begitu ekstra. Ia begitu manis, sampai tak perlu menumpahkan gula, menghalangi rasa. Ia, tiramisu dan kopi yang manis, tak ada kepahitan dalam rasanya. Membuatku ingin terus tambah, tambah dan tambah.

Lalu pahit. Lalu dingin.

Saya kelebihan tiramisu...

Saya kelebihan merindukanmu...

19 April 2013

Kamu, Selalu

Langit terlalu biru untuk tak kita nikmati. Seorang pria merebahkan tubuhnya diatas rumput pinggir lapangan yang sering didatanginya belakangan. Menumbukkan tatapannya pada langit yang bergerak dari sela-sela daun pohon tua. Pramudya menyelipkan earphone di telinganya. Lagu yang sama setiap hari didengarnya. Lagu yang melempar memorinya pada ingatan lalu. 

Sepasang perahu kertas bertabrakan di sudut aliran air muka kelas. Pramudya kecil hanya bisa tertawa melihat sepasang perahu kertas itu perlahan tenggelam. Begitu juga yang dilempar tawa, terbahak. Sekelebat bayangan putih, Pramudya sudah berada diatas sepeda yang melaju kencang. Dipacunya makin kencang hingga teriakan yang diboncengnya juga selaras kencangnya. Mereka tertawa disela napas yang tersenggal. Alunan lagu masih mengalir, tanpa sepengetahuannya, seragam sekolahnya sudah basah kuyup. Tas sekolah sudah jadi atap. Pramudya berlari kecil memburu yang diburunya menembus hujan. Dibandingkan deru air mata langit, tawa mereka menggelegar. Berhenti, berteduh pada satu atap, saling melempar senyum. 

Celana pendek basahnya seketika memanjang. Warnanya pun luntur dari biru menjadi abu-abu. Ditelinganya menempel telepon seluler yang digenggamnya erat. Wajah tersenyum disampingnya mendadak hilang. Berganti suara merdu di seberang. Menanyakan kabar dan bertukar rindu. Baru saja ia ingin bermanja, telepon genggammnya tak mengeluarkan suara, hanya aroma manis. Sebatang coklat terganti disana. Rambut berguguran dibalik topinya. Pramudya mendadak botak. Ia tak lagi bermanja melalui kotak suara, sesungging senyuman sudah tersaji dihadapannya. Pramudya kikuk, sepasang mata dihadapannya sama kakunya. Mereka hanya tiga puluh satu menit disana. Masih dengan perasaan asing yang sama, seketika pria yang sama asingnya muncul disampingnya, dihadapan Pramudya. Perut orang yang ditatapnya mendadak membengkak. Tapi senyumnya sama lebarnya. Mereka berdua kemudian tersenyum. 

Lalu semua gelap.

Dalam kebingungan, Pramudya membuka mata. Langit masih biru dengan awan berarak melintasi lapangan itu. Terduduk, bersandar pada batang besar pohon tua itu. Lagu yang sama masih mengalun disana.

"You are always gonna be my love." Utada Hikaru - First Love

13 April 2013

Apakah kita?

Pramudya baru saja mematahkan pensilnya yang ketiga. Senja sudah lewat sejam yang lalu. Besok harusnya libur. Tapi yang ia lakukan hanya bisa bergumam. Lebih mirip desahan dongkol. Ditambah udara lantai enam belas gedung yang tidak menyisakan oksigen untuknya. Di mejanya, laporan belum kelar dan gambar sketsa yang bahkan tidak menyerupai wajah, bertumpuk. Halaman paling muka, kepala bulat telur dengan lebar diatas dan runcing di bawah. Mata serupa parasut bergelantungan yang jatuh di lubang menganga penuh gigi tajam.

Pramudya mendelik ke kotak kaca raksaksa tepat di depan meja kerjanya. Sosok yang ia tuangkan dalam gambar sedang hilir mudik disana. Tidak dengan kepala bulat telur, mata parasut dan mulut seraya lubang menganga bergigi tajam. Malah kebalikannya. Pria tinggi tegap dengan setelan yang terlihat mahal. Alis tebal dan mata menantang, hidung mancung dan bibir tipis dihias sedikit kumis. 

Pramudya seharusnya pulang empat jam lebih awal. Belum lagi telepon selulernya yang kini disilent karena terus berdering. Menunjukkan layar bertuliskan 'Darling Calling' enam belas kali tanpa jeda. Membayangkan tiket film di dompetnya yang sedetik lalu resmi diputar di bioskop langganannya. Terlebih membayangkan wajah si darling yang lebih mengerikan dibanding kepala telur yang ia gambarkan barusan. Dan melihat situasi seperti sekarang, tampaknya ia baru bisa beranjak dari situ 4 jam kemudian.

Sial! Batinnya terus-menerus. Ini bukan salahnya, juga si darling. Ia hanya ingin membahagiakan si darling dengan bekerja di tempat yang bukan jurusannya, bukan bidang keahliannya. Untuk apa ia menggambar dengan pensil jika ia bisa melakukannya dengan komputer super canggih jaman sekarang. Ia tentu tidak perlu berurusan dengan makhluk kepala telur.

Ia juga susah menyalahkan si kepala telur. Ia atasannya, jauh lebih punya kuasa. Memandang matanya saja Pramudya tak pernah berani, apalagi menentang kehendaknya, termasuk pulang kerja lebih larut. Tapi tidak kali ini, si kepala telur kelewat keterlaluan. Ah, ya! Ini salah Kinar! Gadis yang kelewat manis untuk ukuran si kepala telur. Untuk apa ia sok-sok-an memacari orang kaya ini kalau kemudian ia mencari orang kaya lain. Untuk apa ia bertunangan jika akhirnya ia memutus hubungan. Untuk apa ia berwajah manis jika hati seperti iblis. Untuk apa...

Pintu kaca ruang kaca raksaksa itu terbuka. Si kepala telur tanpa gontai berjalan tegas ke arahnya. Pramudya kembali menunduk, siap-siap untuk hanya mengangguk. Ayal-ayal diteriaki, laporan dan sketsa yang ia kerjakan dari pagi tadi dihempas begitu saja di meja, mengenai wajahnya, melukai harga dirinya.

Pramudya baru saja mematahkan pensilnya yang ketiga untuk kedua kalinya. Ia tau apa yang harus ia lakukan berikutnya. Membuat surat pengunduran dirinya yang baru saja mematahkan hidung si kepala telur. Untuk pertama kalinya.


"Are we human? Or are we dancer?" The Killers - Human

04 April 2013

Kebebasan

Ada sebuah kata dalam film yang barusan saya tonton. Kata ini menggangguku hingga menyalanya lampu dan dibukanya pintu keluar studio. Begitu juga pertama kali menatap langit berteman awan, komposisi paling indah dengan warna biru-putih. Sepasang burung melintas di depan pemandangan itu. Meliuk kesana-kemari, menghiraukan angin. Seolah angin tak pernah ada untuk mereka. Mereka bebas menentukan arah kemana sayap mereka menutun. Ya, kata itu adalah 'kebebasan'.

Selama ini saya tak pernah berpikir jauh soal arti kata itu. Sampai tadi, kuulang dan terus kuulang. Kebebasan...kebebasan..kebebasan... Apa saya pernah sejenak meraihnya? Apa saya pernah benar-benar merasakan yang namanya kebebasan? 

Pertanyaan itu kemudian mengikutiku sampai ke tempat kerja. Kebetulan salah seorang teman terpaksa tidak bisa hadir di shift yang sama dengan alasan kedukaan. Salah satu keluarganya meninggal barusan. Ah, kematian? Apakah itu berarti kebebasan? Bukankah seseorang yang mati kemudian terbebas dari belenggu dan aturan-aturan dunia yang ini-itu. Jika tidak ini, kita akan itu. Jika begitu, akhirnya kau akan seperti ini. Semua serba aturan. Saking banyaknya, mungkin itu yang membentuk jiwa-jiwa manusia muda dengan kalimat, 'peraturan dibuat untuk dilanggar'. Mereka muak, sesak, terkekang. Itu sebabnya mereka membuat 'peraturan diri' agar terbebas dari aturan yang ada. Saya pernah berada dalam posisi seperti mereka, saya tidak mendapat kebebasan dari melanggar peraturan.

Dari kabar itu juga saya akhirnya berpikir, apakah sekarang saya mendapat kebebasan? Sendiri di kantor, yang jelas diluar jam sibuk seperti ini sangat sepi. Saya bebas melakukan apa saja, sendiri. Main game, dengar lagu sambil nyanyi-nyanyi, pakai modem sepuasnya. Apakah ini kebebasan? Melakukan semau kita sesuai kondisi yang ada memungkinkan semua itu. Tidak, saya sekali lagi tidak merasa ada kebebasan dalam melakukan hal-hal itu. Buktinya, saya masih terus menulis.

Ah, ya! Menulis! Saya sudah menulis beberapa postingan dan beberapa kata untuk proyek lain, dan saya tidak ingin berhenti. Seperti saat saya menambahkan kata dalam kalimat, tanpa sadar saya sudah melakukan sesuatu pada sosok di dalam cerita tersebut. Apakah saya ingin membunuhnya, membuatnya tertawa atau membuatnya murung melihat orang yang ia cintai terluka. Atau ketika saya berbagi dengan orang lain. Atau ketika saya menyelipkan kamu dalam selipan kata pengganti di tengah-tengah tulisan saya. Saya merasa bebas untuk itu, Saya menemukan kebebasan dalam menulis. Seseorang pernah berkata, "Bahagia pasti rasanya jika kita hanya bisa menulis dan menulis. Seperti menjadi diri kita sendiri." Ya, dia benar. Saya merasa menjadi diri saya sendiri ketika menulis. Saya tidak butuh banyak ruang, banyak rupa, bahkan banyak cinta. Dengan kematian, kesunyian, nama kamu diselipan kata, sudah cukup membawaku pada kebebasan mengikuti jari-jemariku.

Menulis... ah, ya... mungkin saya akan melakukannya selama saya mampu. Hal kecil yang membawa saya pada kebebasan.

03 April 2013

Review Film : Madre

Finally, I got to see this movie, Madre. Film besutan Benni Setiawan yang dipercaya sebagai sutradara sekaligus penulis skenario ini, diadaptasi dari buku kumpulan cerpen Dewi Lestari alias Dee. Siapa yang tidak tau kehandalan tulisan wanita yang satu ini, apalagi dijadikan film. Perahu Kertas dan Rectoverso sudah sukses membanjiri bioskop. Saya sendiri sangat suka dengan dua judul film diatas, begitu pula bukunya.

Madre, yang berarti 'ibu' dalam bahasa spanyol ini, adalah nama sebuah biang roti dari suatu toko roti, Tan De Bakker. Biang roti ini diwariskan pada seorang pemuda Bali bernama Tansen Roy Wuisan (Vino G. Bastian) oleh Tan Sie Gie yang tak pernah dikenalinya. Usut punya usut, Tan adalah kakek Tansen. Dalam sehari, sejarah hidupnya berubah. Sebagai manusia yang 'bebas', Tansen berniat menjual biang roti tersebut kepada Mei (Laura Basuki), seorang pengusaha toko roti yang sudah besar dan ternyata salah satu blogwalker di blog Tansen sendiri. Toh, dia tidak lihai membuat roti.

Dalam perjalanannya menghidupkan Madre dan Tan De Bakker, asmara diantara keduanya hidup dan bersemi. Bagaimana mereka menghidupkan perasaan mereka berdua? Sakiskan Madre di bioskop kesayangan kamu, sudah mulai tayang sejak 28 Februari 2013 lalu loh.

Dari struktur cerita, siapa tak kenal Dee begitu menuangkan ide-idenya dalam tulisan. Saya sendiri adalah pencinta tulisannya. Bayangkan, bagaimana detail ia menjelaskan tahap-tahap pembuatan roti, dibumbui asmara Tansen dan Mei. Namun, sebagai pencinta dan penikmat film Indonesia pada khususnya, kita memang tidak bisa terlalu berharap banyak pada film yang diadaptasi dari buku. Pasalnya, dalam buku, pembaca menentukan sendiri imajinasi mereka, sehingga saat dituangkan dalam film para pembaca akan merasa kecewa sendiri karena tak sesuai deskripsi imajinasinya. Memang, tak ada yang mampu mengalahkan imajinasi pembaca.

Disinilah peran penulis skenario dan sutradara berperan. Dalam Madre, Benni Setiawan yang mengambil kedua peran tersebut. Dengan pilihan tepatnya mengeset Tan De Bakker ke Bandung -bukannya Jakarta seperti di bukunya-, Benni sukses menghidupkan kesan klasik dari toko roti berumur puluhan tahun tersebut. Juga beberapa intrik yang kemudian diciptakan sebagai bumbu pelengkap mata dan cukup mengaduk perasaan penonton. Khikmawan Santosa, Afgansyah Reza dan Nadya Fathira juga sukses menghidupkan Madre lewat lantunan merdu musik yang mengiringi perjalanan Tansen dan Mei.

Film ini, bagi saya, sukses menghidupkan semua karakter di dalam buku tersebut. Vino G. Bastian dan Laura Basuki memiliki chemistry yang kuat dalam memerankan karakter masing-masing, dari yang senang, sedih sampai canggung-canggungnya mereka saat bertemu satu sama lain. Menampilkan scene-scene yang membuat mata tak mau berkedip, khususnya adegan yang diambil di Bali. What a beautiful waves! Scene tersedih buat saya sendiri bukan pada saat Tansen dan Mei saling merasa kehilangan, justru saat Pak Hadi tau Madre akan dijual. Oh iya, Pak Hadi diperankan oleh aktor kawakan, Didi Petet. Jelas kan maksud saya kenapa scene itu saya pilih sebagai yang tersedih, hehe.

Intinya, film ini sekali lagi akan meramaikan bioskop tanah air. Waktunya membuat film Indonesia menjadi tuan rumah di negara sendiri. Two thumbs up for all crew Madre The Movie!

Tansen   : "Yaa, siapa yang tahu, kayak kita ketemu sekarang ini."
Mei          : "Tuhan."