Email Subscription box byLatest Hack

27 May 2013

Kapan Ke Jakarta Lagi?

Aku mengenal sebuah wajah dari tulisan. Ukirannya menggaris dari raut ceria hingga tawa. Hampir tak ada derita di mata dan senyum kemudian.

Aku enam belas hari di tanah ibukota untuk beberapa mimpi, dan banyak mimpi yang kubawa. Hampir tak bisa diburu guruh langit empat hari terakhir. Ia mengawan hitam lalu menangis dalam kelam.

Aku sudah menghubunginya lewat semua media. Ya, pemilik wajah ceria, aku mengantarkan mimpi punyaku sendiri. Jika tidak, untuk apa aku hanya berbekal tiket pulang saat datang. Selalu melangkah dibawah terangnya lampu jalanan ibukota yang kata mereka penuh ancaman.

Seperti malam ini, ketika kata tidur tidak bersahabat dengan mata. Padahal aku sudah terjaga selama kau memberikan pesan kata dan suara. Aku hanya bisa membaca dan mendengar tanpa menyentuhnya. Tanpa menyentuhmu.

"Kapan ke Jakarta lagi?"

Aku pernah melangkahkan kaki tanpa sengaja disana. Karena memang baru, karena aku pemalu. Jika kau tahu betapa lebar senyumku begitu mengenali gedung yang tiap hari harus kulewati, mungkin kau tak akan bertanya melulu. Dan aku berharap kau sedang memandang keluar saat itu, entah dari lantai berapa, kemudian mendapati seorang dengan senyum lebar bak orang gila di penghujung suatu senja. Mungkin, kau akan bisa tertawa sejenak, dan melupakan penat praktikum seharian.

Atau kita bisa saja bertabrakan mata, saat aku melangkah pelan dan mengidentifikasi wajah-wajah dibalik almamater biru di penghujung senja hari lainnya. Wajah-wajah penuh semangat sepertimu. Aku juga pernah berharap kau menggunakan layanan dari bank yang sama, agar kita berpapasan di ATM depan gedung itu. Lalu bertanya kabar, lalu pergi bersama keluar.

Mungkin kita bisa sama menikmati dentuman harmoni nada yang memekakan telinga, lalu saling menatap, lalu berteriak. Mimpi orang-orang yang kubawa kesana akan berbaur dengan mimpiku, dan tak ada yang lebih sempurna dari itu. Aku sudah siap, bahkan sebelum langkah pertamaku. Walau semua keraguan jelas datangnya pada hari yang paling ditunggu. Aku menumbuhkan kumis tipis kala itu. Hihi, lucu.

Ah, betapa indah dunia dalam imaji. Bisa membunuh sepi dan sunyi juga mimpi. Terjaga bersama jejak-jejak kecil bersama deru angin yang membawa hujan subuh ini.

"Ke Jakarta lagi dong? Biar bisa ketemu."

Tak perlu ibukota, jejakmu masih ada di pulau dewata. Beberapa ingatan menjadi gambar yang menyiratkan kita bersama. Deru angin dan ombak menggulung, memulung satu demi satu potongan senyum keindahan. Lalu, ya, kita setuju. Diantara suara alam paling indah, ini yang paling indah.

Hanya satu potongan yang tak sempat kugariskan ke masa mu. Pulau tebing dan batu, lengkap dengan jatuhnya matahari paling indah kemudian menyatu. Dengan itu semua, kita sekali lagi bersama.

***

Kita mungkin sudah bertemu. Tapi bukan di dunia ini. Mungkin sebelumnya, atau setelahnya. Atau hanya dalam rangkaian cerita yang kuharap kau adalah penulisnya.