Email Subscription box byLatest Hack

19 July 2013

Catatan Kecil, Tentang Perjalanan Empat Tahun

1.
"Saya punya teman, seorang gitaris. Dia handal, hanya sayang tak punya band."

Kira-kira seperti itu chat yang saya kirim lewat IRC kepada user dengan nickname 'co_cari_gitaris'.

Ia merespon dengan antusias, "Pertemukan kami." Sigap, tautan pengguna jejaring sosial yang merujuk pada sebuah nama "Why Frank" kulampirkan dalam chat itu.

Lalu? Begitu saja.

***

Beberapa minggu dengan hari-hari yang biasa saja berlalu. Tak ada yang ajaib dari itu. Hingga sebuah pesan sosial media masuk menyapaku, "Kita perform tanggal xx di xx. Datang, ya."

Hanya selang berapa hari sejak itu, aku sudah berada di kerumunan orang yang menutupi jalan. Beberapa pemuja musik, beberapa pemuja eksistensi. Acara launching sebuah butik anak muda yang menjual nama besar sebuah band baru. Mereka sepanggung dengannya. Mungkin dari situ, nama besar tertular kepada mereka. Dari situ, aku benar-benar melihat mereka.

2.
Aku tak ingat sejak kapan didapuk menjadi 'pengatur' mereka. Sebuah wacana kemudian keluar saat kumpul bersama. "Kamu saja yang jadi manager kita, ya?" Aku tidak pernah mengiyakan, tidak juga menolaknya. Aku dipercaya. Itu bukan sesuatu yang bisa kau tolak, bahkan dengan alasan kuat. Yang tak bisa kau terima karena itu sudah ada begitu saja di pundak.

***

"Banyak rencana kita yang tak terwujud tahun ini. Tapi, lebih banyak yang tak kita rencanakan malah terwujud tahun ini," kataku mantap sembari menjunjung tinggi majalah ternama tanah air yang gemar mengulik band-band khususnya band indie. Band yang masih merayap seperti mereka. Disana, foto mereka terpajang dengan gagahnya.

***

"Memang tidak mudah menyatukan empat pikiran menjadi satu, tapi cukup satu alasan yang menyatukan kita. Musik," kali ini kalimat itu lebih teratur keluar di sela-sela interview ringan harian lokal.

***

Aku, hanya punya kata-kata yang besar. Tidak hati yang besar.

3.
Kemudian aku seperti melupakan mereka. Terbius asmara yang menenggelamkan mereka dalam mataku kemudian. Aku hanya mampu melihat mereka bangun dan jadi lebih kuat, tanpa hadir di dalamnya.

***

Aku, mengkhianati amanah mereka.

4.
Matahari sejenak lagi terbit di ufuk timur. Terbit tidak juga keluar membalas pesan. Setelah sujud kupersembahkan, kulangkahkan kakiku pulang. Aku tidak pantas disini lagi, pikirku.

5.
Tiap orang akhirnya memiliki masalah tersendiri. Asmara khususnya. Lihat, betapa cinta membutakan mata. Tapi bukan Standing Forever namanya, jika tak bisa berdiri selamanya.

***

Susah dan senang sudah dilampaui bersama. Dari panggung mini, hingga bergengsi. Dari memburu mimpi sampai menyediakan mimpi. Beberapa kemudian menjadi pemimpi melihat kami berdiri hingga kini.

Aku pernah menangis dalam hati jika melihat mereka diatas panggung hingga kini. Sebagian haru sebagian malu. Aku, tidak tumbuh bersama mereka. Tapi lihat, mereka selalu disana. Mengisi kegawangan panggung dengan musik lantang. Lalu turun dengan kebanggaan. Aku menangis sekali lagi. Kali ini haru.

***

Jakarta, 6 Desember 2012.

Tanah ibukota kuinjak pertama kali. Membawa misi dan mimpi. Di sekitarku, pemuda-pemuda yang menitipkan mimpinya tersenyum lebar. Ini kali kedua mereka kesini, hari ini aku sempat mendampingi.

Susah senang sama-sama, kata orang. Walaupun banyak susah di awalnya, puncaknya adalah hari terakhir. Sebuah panggung berlatarkan gedung menjulang dan awan mengambang di langit cerah terpampang. "Here's our day!" bisikku lantang di ruang ganti.

Kemudian mereka terbang berjuang, aku hanya bisa memandang. Kemudian menangis dalam hati, kali ini mengandung kebanggaan.

6.
Aku mengetik paragraf terakhir ini setelah meninggalkan mereka di warung kopi berselimutkan hujan pukul satu malam. Setelah bersama mencuri waktu memikirkan masa depan. Masa depan sebuah mimpi yang tergabung dalam sebuah band yang berdiri empat tahun lalu. Sebuah band yang dinamakan . . .




"I remember. Never forget. Forever. Always." - You Are My Friend.
Categories:

0 comments:

Post a Comment