Email Subscription box byLatest Hack

14 July 2014

Aku, Bermimpi Tiga Kali Sebelum Bulan Jatuh

Musik melantun keras. Seorang seniman panggung ahli bahasa langsir membanting diri. Tidak sepandai itu tampaknya, ia masih menggenggam partitur lirik dan kalimat saji pemuas nafsu penikmat sastra. Tidak seperti dirinya. Semua yang duduk di depan panggung berpakaian serba ‘wah’. Yakin, semua berasal dari galeri yang menyediakan busana perancang ternama. Semua khidmat, semua tenang, menikmati seorang dengan kaos compang-camping menyiksa diri diatas panggung.

Ruangan begitu temaram. Hanya panggung berkilauan. Di paling depan beberapa meja bundar besar berbarisan. Ditemani kursi nyaman yang jaraknya berjauhan. Makin ke belakang hanya ada kursi berhimpitan. Hampir penuh. Menyisakan satu spasi bangku paling ujung, kedua dari atas, tepat di depanku geming.

Semua bergidik begitu seorang gadis berparas jelita melenggang. Tidak seperti yang lain. Ia mengenakan busana seadanya. Sebuah gaun mini yang berkilauan diterpa cahaya. Tanpa topi yang besarnya dua kali kepala atau mantel bulu belang seperti yang lainnya. Membiarkan rambut sepunggungnya terbang semaunya diterpa angin yang entah darimana. Mewujudkan dirinya tidak sama dari sebagian besar hadirat disana. Apalagi ditengah pertunjukan yang mana haram hukumnya untuk datang terlambat, jelas ia bukan orang biasa. Dengan anggunnya ia melangkah pelan. Dengan dompet tangan senada pakaian yang dikenakan. Semua orang tahu ia akan duduk dimana. Tapi tak seorang pun tau kenapa ia hadir disana.

Aku tahu. Aku tahu betul kenapa ia disana. Ia hendak menuntaskan janji yang dibuat pada mimpi sebelumnya.

"Temui aku lagi disini, di mimpimu berikutnya," katanya pelan sembari tersenyum genit. Diangkatnya gelas wine yang masih terisi sedikit untuk membasahi tenggorokannya. Kata ayah, menegak minuman setelah mengucapkan sesuatu adalah pertanda seseorang sedang berbohong. Ayah mengucapkan itu lalu menegak satu gelas penuh bir. Di malam ia menghempaskan mobilnya ke jurang, lengkap bersama tubuhnya yang renta. Kejadian itu sudah lama, tapi masih jelas bayangannya.

Juga gadis itu. Kuhapal betul caranya melangkah, menatap langit-langit bar yang kusam karena asap rokok. Membasahi bibir dengan lidahnya atau mengetukkan jari kepada meja. Ia seperti anak kecil yang sangat menginginkan sesuatu. Sesuatu yang tak kuberi saat itu, lalu ia membuat janji. Seolah aku yang mencarinya, ia membuat jadual pertemuan kedua.

Sekali lagi, semua pandangan tertuju pada tiap langkahnya sampai ia bersandar di bangkunya. Serentak semua pandangan hilang seiring cahaya yang makin temaram. Sang ahli panggung sudah berganti jubah. Ia sudah berbaur dengan hadirat disana. Tuxedo lengkap dengan topeng sepanjang mata. Tak ada lagi partitur di tangannya. Ia menjelma menjadi maestro sesungguhnya. Semua mata tertuju padanya.

Tapi tidak dia. Ia menerawang jauh dari panggung. Menghamburkan pandangannya ke tiap punggung kursi. Mengamati tiap bentuk pipi dan pundak pria berdasi. Nafas terburu, mata bak pemburu. Seolah tidak ada yang bakal luput dari buruannya, Seolah semua harus tunduk di hadapannya.

Senyum terkembang kala sudut pencariannya menggapai seratus enam puluh derajat. Ia tak menemukan pria berdasi atau dengan jubah besi. Ia hanya mendapati pria kumal yang dengan sombongnya menopang dagu dengan tangan kanannya. Masih geming. Mata pria itu menyala, mengamati keindahan wajah, mata genit, bibir merekah, dagu lancip, belahan dada yang mencuat dari gaunnya. Lalu entah apalagi yang diranah indera yang sanggup memuaskan rasanya untuk berkelana.  Gadis itu tidak risih. Ia mengambil inisiatif lewat sapaan basi.

"Kau datang," katanya lirih. Bunga bermekaran di musim semi kalah oleh binar mata dan ukir senyumnya.

"Ya. Tapi maaf, aku harus cepat bangun pagi ini," sahutku pelan sembari berdiri. "Di mimpi berikutnya pastikan hanya ada kita berdua. Aku sudah tak mau menunggu lama."

Ia mengangguk mantap. Pikirannya sudah menembus apa yang hendak kita lakukan di mimpi berikutnya. Ketika hanya berdua dan apa yang kita inginkan bersama.

06 March 2014

Still Untitled

Aku sudah disini jam delapan kurang enam belas menit. Tidak berkedip setiap lampu kendaraan mengintip. Berjubah genit untuk menarik perhatianmu dari langit berhampar bintang yang berusaha bersaing sengit. Aku tak akan kalah dari mereka, batinku mencicit.

Jam delapan tepat sebuah mobil merapat di bawah atap tempatku menetap. Turun gadis manis yang langsung menatapku lekat. Inikah lelaki yang ingin kujumpai setiap saat, atau mungkin hanya sesaat, pikirku tentang pikirnya. Lalu sebuah senyum terpahat. Ah, tampaknya aku mengenakan pakaian yang tepat.

"Sudah lama?" sapanya.

"Tak mengapa. Aku pernah menunggu lebih lama," jawabku.

Lalu kembali terdiam sama, lama. Senyum malu-malu terukir di wajahnya. Aku, ingin berjingkrak kemari-ke sana.

Kami memutuskan duduk di pojokan temaram. Karena hanya itu tempat romantis yang tersisa. Lalu kembali terdiam sama, lama.

Aku, masih tak percaya akan ada waktu berjumpa. Ia, mungkin berpikir aku menyakupi standarnya. Ia terlalu cantik untuk gadis yang baru menyentuh kepala dua. Aku, enam tahun lebih tua.

"Maaf, aku tak pernah bermimpi akan bertemu denganmu seperti ini. Maksudku, aku mengharapkannya. Hanya tak pernah menduganya. Aku sangat ingin bertemu denganmu," kataku terbata. Beberapa kata habis tertelan keringnya tenggorokan berdahaga. Aku tak haus sama sekali, hanya semua serasa mengering.

"Kamu lucu. Aku suka," diikuti tawanya.

Lalu dunia berhenti berputar, rembulan membesar, angin seperti membakar. Obrolan berikutnya mengalir seperti air. Seperti kisah asmara Romeo dan Juliet, seperti Rama dan Shinta, seperti Jenna dan Luca. Susah namun membekas terasa. Mewakili perasaan jutaan umat manusia.

Pramusaji restoran itu menghampiri, aku mengambil inisiatif memesan apa yang kau pikir sedari tadi sembari menelan pandangan pada menu di tangan kiri. Aku hafal semua tentangmu, itu membuatku mungkin terlihat freak di matamu. Tapi kau tetap memesan itu lalu tersenyum malu-malu.

"Bagaimana tulisanmu?"

"Mereka masih sering diam-diam kusentuh."

"Tampaknya hobimu lebih menyita waktu."

"Hahaha sepertinya begitu. Hobi, ya?"

"Kalau tidak begitu, kau pasti sudah menciptakan dunia baru."

"Aku hampir punya dunia baru."

Oh ya? Maukah kau bercerita kepadaku?"

Lalu malam menjadi makin panjang. Hidangan kita habiskan lewat cerita lalu lalang. Air warna-warni mondar-mandir di pialang. Kau berkisah tentang cerita baru yang kau kembangkan dari bait lagu. Lagu yang selalu kau dendangkan dari bibir mungilmu tiap malam diatas pukul dua. Lagu itu membawamu pada seorang pria, yang diam-diam selalu kau temui di tempatmu menyalurkan hobi. Beberapa orang menyebutnya kampus, yang lain menjulukinya mampus. Kau tak percaya jenis perasaan seperti itu, bukan?

Matamu lekat di wajahku, pikiranmu jelas tidak di situ. Mungkin di pria berjas putih bercelana abu-abu. Mataku lekat di matamu, tapi hatiku mundur perlahan dari situ. Bibirmu makin basah, mataku berusaha tak sama basah. Lalu kau menyudah obrolan itu karena waktu hampir menunjukkan pukul satu. Kau harus ada di rumah pukul dua, bukan?

"Maaf aku banyak cerita kabur. Aku terlalu bersemangat menemuimu."

"Begitu juga aku. Kau mungkin sedang berada di cinta yang mustahil."

"Ya, hanya saja aku tak tau menggambarkannya seperti apa."

"Seperti mencintai orang yang tak pernah kau temui"


Anata

Kau suka rembulan, dan menari di bawah hujan. Kau punya sebuah senyuman, setiap helainya menyembuhkan. Kau suka tampil menawan, tapi penuh kelembutan. Kau bahkan tak pernah mengeluh pada awan saat hari hujan atau tak ada bulan.

Kau kenal betul dirimu, aku masih belajar darinya. Bagaimana kau bisa terluka, lalu sembunyi dalam dirimu. Lalu sulit keluar. Seperti aku yang terjebak di dalamnya. Seperti kau yang terjebak di dalamku. Lalu kita satu.

I'm here, because you're here...

"Anata ga iru kara..." - Anata (L'Arc~En~Ciel)