Email Subscription box byLatest Hack

25 October 2015

Kapan ke Jakarta lagi? (2)

Sore itu jalanan masih hectic seperti biasa. Menyempatkan singgah di kedai siap saji ini bukan pilihan utama. Hanya salah satu cara membunuh waktu menunggu kabar. Bagi Pram, tempat itu seperti surga dunia sekaligus neraka baginya. Menyantap burger favoritnya, yang baru saat itu ia sadar, menyajikan menu baru dua kali lebih tebal.

Matanya kosong menatap keluar jendela kaca besar. Seakan merasa ada yang salah, ia tertunduk. Ia hampir tidak bisa melihat kakinya saat itu. Perut buncit bukan lagi kebanggannya. Harapannya tentang gemuk, jauh dari harapan. Pram kecil sangat kurus, walau ia tak pernah sakit-sakitan. Ia bahkan tak pernah masuk rumah sakit, selain mencabut gigi susu dan sunat. Ah ya, Pram sunat dua kali.

Dua kali. Ia ke Jakarta dua kali. Dua kali ia bertemu keajaiban, yang kemudian ia lewatkan. Atau memang takdir menulis lawan. Takdir yang menulisnya melaksanakan Jumat di pinggir sebuah taman. Taman yang ia baru tahu kemudian hari, tempat-'nya' berakhir pekan.

Burger di tangannya baru dimakan separuh. Matanya makin kosong melanglang jauh. Hari itu ia harus pulang dari perjalanan panjang dan menantang. Dan takdir kembali menahannya di pintu keberangkatan. Pram tidak merasa cukup takdir menyetirnya hari itu. Ia merasa awam, ia merasa asing. Di kota orang, di tempat gersang. Pram tidak menerima takdir kala itu. Ia memilih melawan, ia memilih berjalan. Ia tidak sadar, bandara itu bukan tempat yang sabar. Ia tertahan disana tanpa kejelasan kabar.

Pram melihat kakinya lagi. Yang ia yakini setelah habis burger ini, kaki itu tak lagi di sini. Benar saja, ia berharap tidak duduk berkeringat di ruang tunggu kedatangan kala itu. Ia berpikir saat ini, kenapa tak lalu lari. Lepaskan satu hari, pergi mencari. Ia bisa saja keluar mencegat taksi, membawanya mengejar mimpi-mimpi. Ia cukup menekan tombol panggil dan bertanya pada-'nya' untuk terkail. Mungkin hari itu mereka akan lupa jika malam sudah berganti petang. Mungkin mereka akan menulis ulang. Mungkin mereka menemukan tempat pulang. Terlalu banyak yang ingin diceritakan. Terlalu lama penasaran penuh di debaran. Bukan pertanyaan, "Kapan ke Jakarta lagi?"

Pram menghabiskan sisa burger di tangan dalam satu gigitan. Berdiri lalu berpulang. Gadis yang dicintainya sedang menunggu jemputan.