Email Subscription box byLatest Hack

13 April 2013

Apakah kita?

Pramudya baru saja mematahkan pensilnya yang ketiga. Senja sudah lewat sejam yang lalu. Besok harusnya libur. Tapi yang ia lakukan hanya bisa bergumam. Lebih mirip desahan dongkol. Ditambah udara lantai enam belas gedung yang tidak menyisakan oksigen untuknya. Di mejanya, laporan belum kelar dan gambar sketsa yang bahkan tidak menyerupai wajah, bertumpuk. Halaman paling muka, kepala bulat telur dengan lebar diatas dan runcing di bawah. Mata serupa parasut bergelantungan yang jatuh di lubang menganga penuh gigi tajam.

Pramudya mendelik ke kotak kaca raksaksa tepat di depan meja kerjanya. Sosok yang ia tuangkan dalam gambar sedang hilir mudik disana. Tidak dengan kepala bulat telur, mata parasut dan mulut seraya lubang menganga bergigi tajam. Malah kebalikannya. Pria tinggi tegap dengan setelan yang terlihat mahal. Alis tebal dan mata menantang, hidung mancung dan bibir tipis dihias sedikit kumis. 

Pramudya seharusnya pulang empat jam lebih awal. Belum lagi telepon selulernya yang kini disilent karena terus berdering. Menunjukkan layar bertuliskan 'Darling Calling' enam belas kali tanpa jeda. Membayangkan tiket film di dompetnya yang sedetik lalu resmi diputar di bioskop langganannya. Terlebih membayangkan wajah si darling yang lebih mengerikan dibanding kepala telur yang ia gambarkan barusan. Dan melihat situasi seperti sekarang, tampaknya ia baru bisa beranjak dari situ 4 jam kemudian.

Sial! Batinnya terus-menerus. Ini bukan salahnya, juga si darling. Ia hanya ingin membahagiakan si darling dengan bekerja di tempat yang bukan jurusannya, bukan bidang keahliannya. Untuk apa ia menggambar dengan pensil jika ia bisa melakukannya dengan komputer super canggih jaman sekarang. Ia tentu tidak perlu berurusan dengan makhluk kepala telur.

Ia juga susah menyalahkan si kepala telur. Ia atasannya, jauh lebih punya kuasa. Memandang matanya saja Pramudya tak pernah berani, apalagi menentang kehendaknya, termasuk pulang kerja lebih larut. Tapi tidak kali ini, si kepala telur kelewat keterlaluan. Ah, ya! Ini salah Kinar! Gadis yang kelewat manis untuk ukuran si kepala telur. Untuk apa ia sok-sok-an memacari orang kaya ini kalau kemudian ia mencari orang kaya lain. Untuk apa ia bertunangan jika akhirnya ia memutus hubungan. Untuk apa ia berwajah manis jika hati seperti iblis. Untuk apa...

Pintu kaca ruang kaca raksaksa itu terbuka. Si kepala telur tanpa gontai berjalan tegas ke arahnya. Pramudya kembali menunduk, siap-siap untuk hanya mengangguk. Ayal-ayal diteriaki, laporan dan sketsa yang ia kerjakan dari pagi tadi dihempas begitu saja di meja, mengenai wajahnya, melukai harga dirinya.

Pramudya baru saja mematahkan pensilnya yang ketiga untuk kedua kalinya. Ia tau apa yang harus ia lakukan berikutnya. Membuat surat pengunduran dirinya yang baru saja mematahkan hidung si kepala telur. Untuk pertama kalinya.


"Are we human? Or are we dancer?" The Killers - Human
Categories:

0 comments:

Post a Comment