Email Subscription box byLatest Hack

  • Proyek Menulis NulisBuku - Kejutan Sebelum Ramadhan

    "Pulau Gaiman", tulisan kolaborasi bersama Rezz, Saddam Syukri dan Kemal Syahputra lolos sebagai finalis kategori kolaborasi dan kemudian dibukukan dalam buku ini.

  • Review FIlm : Madre

    Kisah dari novelet Dewi Lestari alias Dee diangkat ke layar lebar oleh Benni Setiawan selaku sutradara dan penulis skenario. Apakah Film Madre sukses menghidupkan bukunya sendiri? Ikuti ulasan singkat saya disini.

  • #7HariMenulisSuratPutus

    Sebuah proyek bebersih hati ala @Rezzurrection yang mengajak seluruh followersnya untuk melampiaskan keluh kesah sejak, membalik keadaan atau sekedar memutuskan pacar. Buat kamu yang juga ingin ikutan, cukup tulis sebuah surat putus versimu dan kirim ke email eq.alfahrezy@gmail.com. Surat ini kemudian akan diposting di nokturnalinea.com dan jika banyak surat yang masuk, akan diusahakan untuk diterbitkan menjadi buku. Jadi tunggu apalagi, kirim surat putusmu sekarang!

  • Review - Perahu Kertas karya @deelestari

    Siapa yang tidak tahu novel yang satu ini. Sebuah cerita yang begitu menggugah selera baca hingga tak ingin berhenti sampai akhir saat mulai membacanya ini dilahirkan Dewi “Dee” Lestari. Namanya sudah tidak asing lagi, bukan? Yap, orang yang sama yang menulis Supernova, Rectoverso, Filosofoi Kopi dan Madre. Sebelumnya perkenankan saya sedikit mengulas buku berikut filmnya.

30 November 2021

Jakarta Sudah Usai

Malam ini aku bermimpi. Untuk mengakhiri cerita ini. Dengan senyum dan tawa geli.


Kamu dan dia dengan buasnya hadir semalam merasuki. Ia tak menggila, malah menebar tawa. Sepertinya itulah sifat asli dari pria yang penuh cinta. 


Kita bertukar cerita. Tentang dunia-dunia yang terlintas di pikiran. Tentang cinta yang tak tersampaikan. Tentang musik yang hinggap di telinga. Tentang persimpangan yang tak pernah dijumpa. Tentang karakter-karakter yang tak pernah ada. Tentang buku yang ditulis berdua. Tentang gelembung yang tak pernah pecah. Penuh di dada.


Air mata singgah di ujung mata. Ada tangis, ada tawa. Tapi kita sadar, aku sadar. Bahwa semesta kita sudah sampai di ujungnya. Waktu yang tepat untuk mengakhirinya dengan senyum dan tawa.


Ia hanya berkelar, "Finally i’m number one."


Yeah, from now. Aku bahkan tidak tahu bahwa selalu jadi yang pertama. Until now.


Sampai jumpa di pertemuan pertama kita. Kelak. Jika semesta mengijinkan.


Jakarta sudah usai. Ketika aku bangun pagi ini.

21 August 2021

Adik

 Aku punya adik yang tak pernah kumiliki. Yang aku tau, kepalanya peyang-karena terantuk meja saat kugendong kala ia berumur 3 bulan-, dan doyan makan Indomie. Sekali makan bisa dua bungkus. Baik kuah maupun goreng.

Aku juga hanya tau ia lahir kemarin, 21 tahun lalu. Saat ia lahir, tak ada keluarga yang menemani ibu. Hanya petugas intel teman kakak yang dititipi kala itu. Rasanya ibu jadi orang penting.

Ia jadi rebutan di keluarga besar, baik ayah maupun ibu. Kemana pun nasibnya kala itu, akan baik-baik saja kelak.

Aku juga hanya tau ia suka jejepangan. Sepertiku. Hanya lebih ekstrim. Jauh, lebih ekstrim. Aku punya kaos souvernir dari jepang yang dibawakannya saat berlibur ke sana. Sekarang sudah jadi kain pel.

Yang aku tidak tau, apa ia tau aku kakaknya?

Rasanya ingin berbincang lepas seperti orang pada umumnya. Menanyakan hari-harinya sebelum ia naik ke renjana. Sekadar bercanda gurau ala kakak-beradik, atau mengajarkannya hal-hal baru. Sleepover party kala duka melanda seperti yang lalu. Menasihati tentang hidup dan dunia pekerjaan agar ia kelak lebih berhati-hati melangkah, memberi jokes garing ala bapack-bapack, tau sekedar menggoda pengalaman romansa yang sedang dijalaninya.

Apapun itu, ia tumbuh dengan baik. Tidak ada yang lebih penting dari itu.

Tidak Ada

Tidak ada orang tua yang ingin menguburkan anaknya.

Aku paham sekarang betapa larutnya kesedihan ibuku saat adik bungsu yang sudah tak kuhapal lagi mukanya itu meninggalkan kami duluan.

Ia hidup terlalu singkat, kami hidup terlalu lama berlumur dosa.

Doaku di akhir wajib selalu sama. Panjangkanlah umurnya, jauhkanlah penyakit darinya. 

Karena tidak ada orang tua yang ingin menguburkan anaknya.

06 May 2019

Kapan ke Jakarta lagi? (3)

Tidak ada Jakarta kali ini. Tidak di dimensi ini. Tidak lagi. Ada beberapa hal yang seharusnya terjadi, tapi tidak terjadi. Adalah pertemuan dua gelembung yang berbeda. Adalah beberapa sua yang tak ada. Adalah benda-benda yang tak kan bertemu tuannya. Adalah hujan yang membentengi jari-jari.

Jika ada Jakarta di kemudian hari, biarlah ia pulang. Ke masing-masing hati dan pelukan. Kepada Jakarta yang tak pernah tidur.

Jika ada Jakarta lain kali, biar semesta yang mengaturnya.

25 October 2015

Kapan ke Jakarta lagi? (2)

Sore itu jalanan masih hectic seperti biasa. Menyempatkan singgah di kedai siap saji ini bukan pilihan utama. Hanya salah satu cara membunuh waktu menunggu kabar. Bagi Pram, tempat itu seperti surga dunia sekaligus neraka baginya. Menyantap burger favoritnya, yang baru saat itu ia sadar, menyajikan menu baru dua kali lebih tebal.

Matanya kosong menatap keluar jendela kaca besar. Seakan merasa ada yang salah, ia tertunduk. Ia hampir tidak bisa melihat kakinya saat itu. Perut buncit bukan lagi kebanggannya. Harapannya tentang gemuk, jauh dari harapan. Pram kecil sangat kurus, walau ia tak pernah sakit-sakitan. Ia bahkan tak pernah masuk rumah sakit, selain mencabut gigi susu dan sunat. Ah ya, Pram sunat dua kali.

Dua kali. Ia ke Jakarta dua kali. Dua kali ia bertemu keajaiban, yang kemudian ia lewatkan. Atau memang takdir menulis lawan. Takdir yang menulisnya melaksanakan Jumat di pinggir sebuah taman. Taman yang ia baru tahu kemudian hari, tempat-'nya' berakhir pekan.

Burger di tangannya baru dimakan separuh. Matanya makin kosong melanglang jauh. Hari itu ia harus pulang dari perjalanan panjang dan menantang. Dan takdir kembali menahannya di pintu keberangkatan. Pram tidak merasa cukup takdir menyetirnya hari itu. Ia merasa awam, ia merasa asing. Di kota orang, di tempat gersang. Pram tidak menerima takdir kala itu. Ia memilih melawan, ia memilih berjalan. Ia tidak sadar, bandara itu bukan tempat yang sabar. Ia tertahan disana tanpa kejelasan kabar.

Pram melihat kakinya lagi. Yang ia yakini setelah habis burger ini, kaki itu tak lagi di sini. Benar saja, ia berharap tidak duduk berkeringat di ruang tunggu kedatangan kala itu. Ia berpikir saat ini, kenapa tak lalu lari. Lepaskan satu hari, pergi mencari. Ia bisa saja keluar mencegat taksi, membawanya mengejar mimpi-mimpi. Ia cukup menekan tombol panggil dan bertanya pada-'nya' untuk terkail. Mungkin hari itu mereka akan lupa jika malam sudah berganti petang. Mungkin mereka akan menulis ulang. Mungkin mereka menemukan tempat pulang. Terlalu banyak yang ingin diceritakan. Terlalu lama penasaran penuh di debaran. Bukan pertanyaan, "Kapan ke Jakarta lagi?"

Pram menghabiskan sisa burger di tangan dalam satu gigitan. Berdiri lalu berpulang. Gadis yang dicintainya sedang menunggu jemputan.

14 July 2014

Aku, Bermimpi Tiga Kali Sebelum Bulan Jatuh

Musik melantun keras. Seorang seniman panggung ahli bahasa langsir membanting diri. Tidak sepandai itu tampaknya, ia masih menggenggam partitur lirik dan kalimat saji pemuas nafsu penikmat sastra. Tidak seperti dirinya. Semua yang duduk di depan panggung berpakaian serba ‘wah’. Yakin, semua berasal dari galeri yang menyediakan busana perancang ternama. Semua khidmat, semua tenang, menikmati seorang dengan kaos compang-camping menyiksa diri diatas panggung.

Ruangan begitu temaram. Hanya panggung berkilauan. Di paling depan beberapa meja bundar besar berbarisan. Ditemani kursi nyaman yang jaraknya berjauhan. Makin ke belakang hanya ada kursi berhimpitan. Hampir penuh. Menyisakan satu spasi bangku paling ujung, kedua dari atas, tepat di depanku geming.

Semua bergidik begitu seorang gadis berparas jelita melenggang. Tidak seperti yang lain. Ia mengenakan busana seadanya. Sebuah gaun mini yang berkilauan diterpa cahaya. Tanpa topi yang besarnya dua kali kepala atau mantel bulu belang seperti yang lainnya. Membiarkan rambut sepunggungnya terbang semaunya diterpa angin yang entah darimana. Mewujudkan dirinya tidak sama dari sebagian besar hadirat disana. Apalagi ditengah pertunjukan yang mana haram hukumnya untuk datang terlambat, jelas ia bukan orang biasa. Dengan anggunnya ia melangkah pelan. Dengan dompet tangan senada pakaian yang dikenakan. Semua orang tahu ia akan duduk dimana. Tapi tak seorang pun tau kenapa ia hadir disana.

Aku tahu. Aku tahu betul kenapa ia disana. Ia hendak menuntaskan janji yang dibuat pada mimpi sebelumnya.

"Temui aku lagi disini, di mimpimu berikutnya," katanya pelan sembari tersenyum genit. Diangkatnya gelas wine yang masih terisi sedikit untuk membasahi tenggorokannya. Kata ayah, menegak minuman setelah mengucapkan sesuatu adalah pertanda seseorang sedang berbohong. Ayah mengucapkan itu lalu menegak satu gelas penuh bir. Di malam ia menghempaskan mobilnya ke jurang, lengkap bersama tubuhnya yang renta. Kejadian itu sudah lama, tapi masih jelas bayangannya.

Juga gadis itu. Kuhapal betul caranya melangkah, menatap langit-langit bar yang kusam karena asap rokok. Membasahi bibir dengan lidahnya atau mengetukkan jari kepada meja. Ia seperti anak kecil yang sangat menginginkan sesuatu. Sesuatu yang tak kuberi saat itu, lalu ia membuat janji. Seolah aku yang mencarinya, ia membuat jadual pertemuan kedua.

Sekali lagi, semua pandangan tertuju pada tiap langkahnya sampai ia bersandar di bangkunya. Serentak semua pandangan hilang seiring cahaya yang makin temaram. Sang ahli panggung sudah berganti jubah. Ia sudah berbaur dengan hadirat disana. Tuxedo lengkap dengan topeng sepanjang mata. Tak ada lagi partitur di tangannya. Ia menjelma menjadi maestro sesungguhnya. Semua mata tertuju padanya.

Tapi tidak dia. Ia menerawang jauh dari panggung. Menghamburkan pandangannya ke tiap punggung kursi. Mengamati tiap bentuk pipi dan pundak pria berdasi. Nafas terburu, mata bak pemburu. Seolah tidak ada yang bakal luput dari buruannya, Seolah semua harus tunduk di hadapannya.

Senyum terkembang kala sudut pencariannya menggapai seratus enam puluh derajat. Ia tak menemukan pria berdasi atau dengan jubah besi. Ia hanya mendapati pria kumal yang dengan sombongnya menopang dagu dengan tangan kanannya. Masih geming. Mata pria itu menyala, mengamati keindahan wajah, mata genit, bibir merekah, dagu lancip, belahan dada yang mencuat dari gaunnya. Lalu entah apalagi yang diranah indera yang sanggup memuaskan rasanya untuk berkelana.  Gadis itu tidak risih. Ia mengambil inisiatif lewat sapaan basi.

"Kau datang," katanya lirih. Bunga bermekaran di musim semi kalah oleh binar mata dan ukir senyumnya.

"Ya. Tapi maaf, aku harus cepat bangun pagi ini," sahutku pelan sembari berdiri. "Di mimpi berikutnya pastikan hanya ada kita berdua. Aku sudah tak mau menunggu lama."

Ia mengangguk mantap. Pikirannya sudah menembus apa yang hendak kita lakukan di mimpi berikutnya. Ketika hanya berdua dan apa yang kita inginkan bersama.