Email Subscription box byLatest Hack

30 January 2013

Exceptional Day SMA N 11 Makassar

Silent But Deadly




Ska With Klasik 






 Efek Rumah Kaca



Souljah





27 January 2013

Surat Penuh Cinta Untuk Sahabat Lama

Saya sedang jalan-jalan di blog teman dan mendapatinya rajin menulis dengan tema "menulis surat". Ternyata ia mengikuti sebuah kegiatan di social network. Ia rajin benar menulis surat untuk orang-orang disekitarnya. Kupikir, kenapa tak ia sampaikan langsung saja? Kupikir, lagi, mungkin ia tak bisa menyampaikan langsung. Lalu, aku tergugah juga untuk menulis "surat" untuk seseorang yang tak bisa kusampaikan secara langsung sebuah perasaan. Perasaan yang sudah menjadi kerak dalam hatiku, menjadikannya prinsip dalam hidupku.

Sebuah surat penuh cinta untuk sahabat lama. . .


Hi, Bot

Haha, aneh banget sapaannya. Lebih aneh kayaknya kalo saya pake "Dear, Bot" :p 

Apa kabar? Saya alhamdulillah baik, sehat. Ardi juga. Masih ingat kan? Dia orang yang terakhir berinteraksi denganmu secara langsung. Saya yakin karena itu ia adalah yang paling spesial diantara kita. Saya selalu cemburu karena itu, loh. Dari dulu, saya orang yang selalu paling terakhir dikabari. Jadi yang paling gak pernah dikomentari, dicalla dan dimarahin itu gak enak, loh, beneran. Ah, tapi tak apalah. Tiap orang punya pilihannya bukan? Seperti caramu meninggalkan kita.

Oh iya, sebelumnya saya mau klarifikasi dulu nih soal waktu itu. Sumpah, saya sama sekali gak liat kamu tidur di kamar kakakmu seperti klarifikasimu yang kudengar dari orang lain. Saya rabun, tapi tidak buta. Dan lagi, kita sudah dapat ijin dari Bude kok kalo masuk rumah. Malah disuruh langsung masuk kamar seperti biasa. Oh iya, alasan kita singgah ke rumah saat itu selain istirahat, kita juga nyari tempat sholat. Hari itu bulan puasa, kan? Hari kedua jika saya tidak salah ingat.

Ya, saya ingat ketika tepat jam berbuka puasa Ardi menelepon dengan nada terisak. Saya yakin ia jadi lelaki-dengan-gelembung-air-disudut-matanya saat itu. Seketika laparku hilang, emosi malah naik. Alhamdulillah sudah buka puasa jadi gak makruh haha. Nasi dalam leher aja sampe gak bisa ketelan. Satu yang kupikir, ini harus diselesaikan saat ini. Saya kenal betul perangaimu. Garis di dahimu sudah jadi tanda haha. Saya membayangkan garis itu berkedut saat kau menelepon Ardi.

Kau tidak keluar rumah juga malam itu. Untuk masuk, sudah jelas kita tidak punya keberanian melakukan hal yang sama yang membuatmu marah. Untung ada Ati' yang rela meminjamkan terasnya untuk kita berkeluh kesah. Walau handphonemu sengaja kau matikan, saya tahu kau sedang ditempatmu jika gelisah. Dudukan bak air di atap rumahmu yang baru direnovasi, kan? Saya melihat api rokokmu dari tempatku duduk. Apa kau melihat kami dibawah?

Kau tahu, setelah itu saya hampir tak percaya dengan yang orang-orang naif sebut dengan persahabatan. Kata itu seakan lenyap dari kamusku. Kau tahu sendiri saya seperti apa, my world is my mine. Sisa hari setelah kau memutuskan pergi, saya menyimpan prinsip itu bersama sejalan. Satu-satunya sahabat yang saya punya hanya Ardi, yang lain hanya teman. Saya juga suka mengejek dalam hati orang-orang yang menjunjung tinggi persahabatan, haha. Lucu, kan?

Kau memberi perubahan sebegitu besarnya dari diriku. Meninggalkan luka yang masih sakit. Yang bekasnya masih kubawa di telapak tangan kananku saat terjepit kunci geser pintu pagar rumahmu hari itu. Ya, hari kami masuk ke rumahmu tanpa ijinmu. Luka kecil ini sudah mengisyaratkan sesuatu tentang kita.

Sayang, ya. Hanya karena masalah sepele seperti itu, kau buat keputusan sulit. Untukmu mungkin tak sepele. Memang tak enak, jika baru bangun tidur kau langsung dimarahi ibumu dan disalahkan atas tamu tak diundang.

Kutulis surat ini hanya untuk menyampaikan sebuah maaf. Maaf yang saya tahu tidak pernah sampai padamu. Sekalipun sampai, kau pun tak mudah memberikannya. Tapi hanya itu yang ingin saya katakan dari dulu sampai sekarang.

Maaf.

Tempat Pulang

Dari sebuah perbincangan lepas dengan beberapa teman, muncul sebuah teori dalam benakku. Mungkin juga dalam benak mereka setelah pertemuan itu. Kuberi saja nama, "tempat pulang".

Sesuatu yang pergi, harus pulang. Begitu juga hati. Setiap hati yang pergi selalu mencari rumahnya. Sekedar untuk berteduh atau menenggalamkannya dengan hujan. Setiap hati, akan menjadi tempat pulang dari hati hati yang terus pergi. Menunggu kepulangan hati kesayangan mereka.

Aku punya tempat pulang. Mungkin, aku juga tempat pulang baginya.

Apapun yang terjadi, kebetulan selalu menempatkan kita bersama. Tentang pertama kita bertemu, adalah sebenar-benarnya karena temanmu yang cantik itu sebelum aku berhenti di kamu. Sebuah kebetulan.

Lalu, kebetulan lain ketika jalan depan bangunanku mencari nafkah selalu kau lewati sebelum bercumbu. Aku selalu berdiri disana, dan kau selalu berbalik kearahku dalam limapuluh kilometer per jam. Hanya sekian detik, senyummu kemudian lebur dalam senyumku yang tak kalah lebar. Apa daya, kita punya tempat singgah lain saat itu.

Kebetulan lain, aku bertemu denganmu kembali, melalui jejaring sosial paling ramai saat ini. Sebenarnya, aku sudah lama menemukanmu. Seseorang nge-twit sebuah pertanyaan dan aku memberikan informasi. Butuh sekian detik sampai aku ngeh bahwa di bio orang itu terdapat nama akunmu. Hihi.

Kita juga suka berada di satu takeaway cafe yang menyiapkan kopi siap saji yang sama, walau kita punya rasa yang beda. Rasamu sekarang jadi favoritku, selalu menginspirasiku untuk menulis, dan mengingatmu.

Secara kebetulan pun, panggilan kita bermula dari rambut. 'Tak mungkin tak ada perasaan jika masing-masing dari kalian sudah memanggil dalam sebuah panggilan', ucap seorang sahabat. Kupikir disana aku baru sadar, utuh, bahwa kau selalu punya tempat dihati. 

Kau selalu menjadi tempat pulang. 

Aku ingin pulang lebih lama. 

Nanti, jika kau sudah siap untuk pulang.

Rindu?

Saya belakangan selalu merasakan rindu. Tapi, rindu akan apa? Kemudian pertanyaan itu mewakili pertanyaan-pertanyaan berikutnya yang terus muncul.

Aku tak memungkiri, aku rindu kecupan dan pelukan hangat. Aku rindu orang-orang yang pernah di dekatku. Aku rindu komunitas yang membesarkanku. Aku rindu sebagian dari masa lalu. Masa jaya maupun masa jatuh.

'Kau tak akan bisa maju jika terus berpikir ke belakang', kata sebagian orang. Bukannya masa lalu lah yang membentuk kita sekarang? Harusnya memang kita melihat kebelakang biar tidak terjerumus ke hal yang sama, kan? Pertanyaan-pertanyaan lain.

Atau kenapa saya harus merindukan mereka lagi, orang-orang yang menghancurkan hati hariku. Atau mereka yang tidak bisa menerimaku. Atau mereka yang menolak tanpa melihat sedikit kemampuanku.

Aku rindu mereka semua. Mereka membentukku menjadi kuat seperti sekarang.

Terima kasih untuk itu.