Email Subscription box byLatest Hack

27 March 2013

Hujan Maret

Hari ini hujan deras, sementara Ibu tidak berhenti mengirim pesan singkat lewat telepon seluler yang tak ia hapal letak tombolnya, hanya untuk sekedar mengingatkanku agar tak lupa makan.

"Restu ko sudah makan ka? Dirumah ada ikan."

Aku tak pernah benar-benar suka ikan. Aku sering tersedak tulang. Tapi Ibu selalu membuatnya. Ayah suka ikan. Seperti kecintaan ayah akan sepatu. Sejak aku kecil, tak pernah kudapati sepatunya kotor. Selalu disikatnya sepatu kesayangannya itu lengkap dengan semir hingga mengkilap. Dilakukannya pukul 4 pagi, setengah jam sebelum mobil jemputannya datang.

Aku selalu terbangun pada jam-jam segitu. Bukannya kembali tidur, aku selalu mendampinginya diruang tamu. Ia dengan kepulan asap rokok dan kopi hitamnya, aku dengan guling dan mata setengah terpejam. Tanpa kata.

Silau lampu mobil yang kemudian menjadi kode melepas kepergian ayahku meneruskan langkahnya mencari nafkah. Aku berdiam di teras sampai mobil itu hilang bersama senyum dan tatapan ayahku. Pintu kukunci setelahnya, sudah tugas harianku.

Belum lama ini aku pulang dari Pulau Dewata, hanya dengan buah tangan alas kaki untuknya. Aku menggembel disana, aku hanya ingat ia suka mengenakan sendal di dalam rumah. Agar tidak kedinginan kakinya, katanya. Alasan itu selalu ia gunakan sejak susah berjalan dua tahun belakangan. Wajahnya serupa mendengar kabar mendapat cucu baru. Bukan, bukan saat mengetahui ada oleh-oleh yang kubawa, tapi sejak aku mengucap salam memasuki rumah malam itu.

Paginya rutinitas sudah kembali seperti sedia kala. Pekerjaan sudah memanggil serupa suara debur pantai Kuta yang terasa masih saja terdengar. Selalu menyimpan rindu dan misteri agar kembali lagi suatu saat nanti. Kudapati sepatuku sudah mengkilap. Kutatap wajahnya, ia hanya nyengir kuda.

Ia melepas kepergianku mencari nafkah dari balik pagar. Setengah berteriak, "Hati-hati," bersaing dengan deru knalpot motorku. Dengan tak menepikan tatapannya seusai motorku hilang di perempatan. Aku mengikuti wajahnya lewat pantulan kaca. Ia tak pernah mengunci pintu, mengingatku selalu pulang larut dan mereka sudah terlelap.


Dunia tak pernah berubah, hanya tempat kita yang berubah. Tinggal sepintar apa kita menempatkan diri kita. Akhir tahun Ibu sudah menghujaniku. Kini giliran Ayah yang membuatku menjadi lelaki dengan gelembung air di sudut matanya. Sudah cukup ia yang menjadi lelaki itu. Kini, giliranku. 







0 comments:

Post a Comment