Email Subscription box byLatest Hack

05 November 2012

Kita Dan Anak Kompleks Itu

Kau tak pernah sadar juga. Kita diciptakan sama. Walau bukan untuk bersama tapi itu takdir kita, sama.

Umur kita tak pernah sama. Aku jauh lebih tua. Hanya tua, belum memilih dewasa.

Kita sama-sama menunggu sesuatu yang terbaik, bukan? Bukan menunggu sesuatu yang baik saja. Karena mereka yakin, mereka diciptakan.

Kau menuduhku dengan anak kompleks itu. Bukannya kau yang ada-main dengan anak kompleks itu? Yang memanggilmu sayang di tiap kesempatan aku tak ada.

Kita sama, main dengan anak kompleks itu di tiap kesempatan kita tak pernah tercipta.

Kita sama, pergi dengan gurat sisa bayangan sahabat kita yang baru diketahui setelah sebuah kecupan mendarat di pertemuan pertama.

Mereka bukan anak kompleks itu.

Anak kompleks itu masih disana, mereka hanya tempat kita membuang sumpah serapah. Kepadamu, kepadaku.

Anak kompleks itu masih disana, mereka hanya tempat kita berpulang pada akhirnya. Tidak untuk mengulang.

Anak kompleks itu mungkin menertawai kita dari rumah yang baru nyala lampunya setelah senja yang kau benci.

Oh iya, aku lupa. Kau sudah tak pernah membenci senja lagi. Kau selalu diluar menatap matahari pelan terbenam. Baru pulang jika larut malam. Jika aku baru saja hendak keluar menghabiskan malam lewat pantulan air di pinggir aspal.

Ketika pagi tiba aku merebahkan badan diatas ranjang tak empuk lagi yang biasa kau tiduri. Kau jamah baik-baik tiap kotak polanya lalu tertawa pada merah jambu warnanya. Kau baru menutupi bibir hitammu dengan masker anti debu yang kau yakini itu.

Itu jawaban dari pertanyaanku selama ini.

Jika bumi ini luas, kenapa hanya anak kompleks itu yang sering kutemui? Jika bumi ini sempit, kenapa kita yang hanya sejengkal pandangan tak pernah berpapasan di pagi tak bertuan?

0 comments:

Post a Comment