Email Subscription box byLatest Hack

06 March 2014

Still Untitled

Aku sudah disini jam delapan kurang enam belas menit. Tidak berkedip setiap lampu kendaraan mengintip. Berjubah genit untuk menarik perhatianmu dari langit berhampar bintang yang berusaha bersaing sengit. Aku tak akan kalah dari mereka, batinku mencicit.

Jam delapan tepat sebuah mobil merapat di bawah atap tempatku menetap. Turun gadis manis yang langsung menatapku lekat. Inikah lelaki yang ingin kujumpai setiap saat, atau mungkin hanya sesaat, pikirku tentang pikirnya. Lalu sebuah senyum terpahat. Ah, tampaknya aku mengenakan pakaian yang tepat.

"Sudah lama?" sapanya.

"Tak mengapa. Aku pernah menunggu lebih lama," jawabku.

Lalu kembali terdiam sama, lama. Senyum malu-malu terukir di wajahnya. Aku, ingin berjingkrak kemari-ke sana.

Kami memutuskan duduk di pojokan temaram. Karena hanya itu tempat romantis yang tersisa. Lalu kembali terdiam sama, lama.

Aku, masih tak percaya akan ada waktu berjumpa. Ia, mungkin berpikir aku menyakupi standarnya. Ia terlalu cantik untuk gadis yang baru menyentuh kepala dua. Aku, enam tahun lebih tua.

"Maaf, aku tak pernah bermimpi akan bertemu denganmu seperti ini. Maksudku, aku mengharapkannya. Hanya tak pernah menduganya. Aku sangat ingin bertemu denganmu," kataku terbata. Beberapa kata habis tertelan keringnya tenggorokan berdahaga. Aku tak haus sama sekali, hanya semua serasa mengering.

"Kamu lucu. Aku suka," diikuti tawanya.

Lalu dunia berhenti berputar, rembulan membesar, angin seperti membakar. Obrolan berikutnya mengalir seperti air. Seperti kisah asmara Romeo dan Juliet, seperti Rama dan Shinta, seperti Jenna dan Luca. Susah namun membekas terasa. Mewakili perasaan jutaan umat manusia.

Pramusaji restoran itu menghampiri, aku mengambil inisiatif memesan apa yang kau pikir sedari tadi sembari menelan pandangan pada menu di tangan kiri. Aku hafal semua tentangmu, itu membuatku mungkin terlihat freak di matamu. Tapi kau tetap memesan itu lalu tersenyum malu-malu.

"Bagaimana tulisanmu?"

"Mereka masih sering diam-diam kusentuh."

"Tampaknya hobimu lebih menyita waktu."

"Hahaha sepertinya begitu. Hobi, ya?"

"Kalau tidak begitu, kau pasti sudah menciptakan dunia baru."

"Aku hampir punya dunia baru."

Oh ya? Maukah kau bercerita kepadaku?"

Lalu malam menjadi makin panjang. Hidangan kita habiskan lewat cerita lalu lalang. Air warna-warni mondar-mandir di pialang. Kau berkisah tentang cerita baru yang kau kembangkan dari bait lagu. Lagu yang selalu kau dendangkan dari bibir mungilmu tiap malam diatas pukul dua. Lagu itu membawamu pada seorang pria, yang diam-diam selalu kau temui di tempatmu menyalurkan hobi. Beberapa orang menyebutnya kampus, yang lain menjulukinya mampus. Kau tak percaya jenis perasaan seperti itu, bukan?

Matamu lekat di wajahku, pikiranmu jelas tidak di situ. Mungkin di pria berjas putih bercelana abu-abu. Mataku lekat di matamu, tapi hatiku mundur perlahan dari situ. Bibirmu makin basah, mataku berusaha tak sama basah. Lalu kau menyudah obrolan itu karena waktu hampir menunjukkan pukul satu. Kau harus ada di rumah pukul dua, bukan?

"Maaf aku banyak cerita kabur. Aku terlalu bersemangat menemuimu."

"Begitu juga aku. Kau mungkin sedang berada di cinta yang mustahil."

"Ya, hanya saja aku tak tau menggambarkannya seperti apa."

"Seperti mencintai orang yang tak pernah kau temui"


Categories:

0 comments:

Post a Comment